Peradaban Islam
di Masa Kerajaan Safawi
A . Kerajaan Safawi pada masa sebelum resmi menjadi
kerajaan
Ketika
kerajaan Usmani sudah mencapai puncak kemajuannya, kerajaan Safawi di Persia
baru berdiri. Kerajaan ini berkembang dengan cepat. Dalam perkembangannya,
kerajaan Safawi sering bentrok dengan Turki Usmani.
Berbeda dari
dua kerajaan besar Islam lainnya (Usmani dan Mughal), Kerajaan Safawi
menyatakan Syi'ah sebagai mazhab negara. Karena itu, kerajaan ini dapat
dianggap sebagai peletak pertama dasar terbentuknya negara Iran dewasa ini.
Kerajaan
Safawi berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berdiri di Ardabil, sebuah kota
di Azerbaijan. Tarekat ini diberi nama Tarekat Safawiyah, didirikan pada waktu
yang hampir bersamaan dengan berdirinya kerajaan Usmani. Nama Safawiyah,
diambil dari nama pendirinya, Safi al-Din (1252-1334 M), dan nama Safawi itu
terus dipertanankan sampai Tarekat ini menjadi gerakan politik. Bahkan, nama
itu terus dilestarikan setelah gerakan ini berhasil mendirikan kerajaan.[1]
Safi al-Din mendirikan tarekat
Safawiyah setelah ia menggantikan guru dan sekaligus mertuanya yang wafat tahun
1301 M. Pengikut tarekat ini sangat teguh memegang ajaran agama. Pada mulanya
gerakan tasawuf Safawiyah bertujuan memerangi orang-orang ingkar, kemudian
memerangi golongan yang mereka sebut "ahli-ahli bidah". Tarekat yang
dipimpin Safi al-Din ini semakin penting terutama setelah ia mengubah bentuk
tarekat itu dari pengajian tasawuf murni yang bersifat lokal menjadi gerakan
keagamaan yang besar pengaruhnya di Persia, Syria, dan Anatolia. Di
negeri-negeri di luar Ardabil Safi al-Din menempatkan seorang wakil yang
memimpin murid-muridnya. Wakil itu diberi gelar "khalifah".[2]
Suatu
ajaran agama yang dipegang secara fanatik biasanya kerap kali menimbulkan
keinginan di kalangan penganut ajaran itu untuk berkuasa. Karena itu, lama
kelamaan murid-murid tarekat Safawiyah berubah menjadi tentara yang teratur,
fanatik dalam kepercayaan dan menentang setiap orang yang bermazhab selain
Syi'ah.[3]
Kecenderungan memasuki dunia
politik itu mendapat wujud kongkritnya pada masa kepemimpinan Juneid (1447-1460
M). Dinasti Safawi memperluas geraknya dengan menambahkan kegiatan politik pada
kegiatan keagamaan. Perluasan kegiatan ini menimbulkan konflik antara Juneid
dengan penguasa Kara Koyunlu (domba hitam), salah satu suku bangsa Turki yang
berkuasa di wilayah itu. Dalam konflik tersebut Juneid kalah dan diasingkan ke
suatu tempat. Di tempat baru ini ia mendapat perlindungan dari Penguasa Diyar
Bakr, AK-Koyunlu (domba putih), juga satu suku bangsa Turki.
Ia tinggal di istana Uzun Hasan, yang ketika itu menguasai sebagian besar
Persia.[4]
Selama dalam pengasingan, Juneid
tidak tinggal diam. Ia malah dapat menghimpun kekuatan untuk kemudian
beraliansi secara politik dengan Uzun
Hasan. Ia juga berhasil mempersunting salah seorang saudara perempuan Uzun
Hasan. Pada tahun 1459 M Juneid mencoba merebut
Ardabil tetapi gagal. Pada tahun 1460 M ia mencoba merebut
Sircassia tetapi pasukan yang dipimpinnya dihadang oleh tentara Sirwan. Ia
sendiri terbunuh dalam pertempuran tersebut.[5]
Ketika itu anak Juneid, Haidar, masih kecil dan dalam
asuhan Uzun Hasan. Karena itu, kepemimpinan gerakan Safawi baru bisa diserahkan
kepadanya secara resmi pada tahun 1470 M. Hubungan Haidar dengan Uzun Hasan
semakin erat setelah Haidar mengawini salah seorang puteri Uzun Hasan. Dari
perkawinan ini lahirlah Ismail yang di kemudian hari menjadi pendiri kerajaan
Safawi di Persia.[6]
Kemenangan AK Koyunlu tahun 1476 M terhadap Kara Koyunlu
membuat gerakan militer Safawi yang dipimpin oleh Haidar dipandang sebagai
rival politik oleh AK Koyunlu dalam meraih kekuasaan selanjutnya. Padahal,
sebagaimana telah disebutkan, Safawi adalah sekutu AK Koyunlu. AK Koyunlu
berusaha melenyapkan kekuatan militer dan kekuasaan Dinasti Safawi. Karena itu,
ketika Safawi menyerang wilayah Sircassia dan pasukan Sirwan, AK Koyunlu
mengirimkan bantuan militer kepada Sirwan, sehingga pasukan Haidar kalah dan
Haidar sendiri terbunuh dalam peperangan itu.[7]
Ali, putera dan pengganti Haidar, didesak oleh bala
tentaranya untuk menuntut balas atas kematian ayahnya, terutama terhadap AK
Koyunlu. Tetapi Ya’kub pemimpin AK Koyunlu dapat menangkap dan memenjarakan Ali
bersama saudaranya, Ibrahim dan Ismail, dan ibunya, di Fars selama empat setengah
tahun (1489-1493 M). Mereka dibebaskan oleh Rustam, putera mahkota AK Koyunlu,
dengan syarat mau membantunya memerangi saudara sepupunya. Setelah saudara
sepupu Rustam dapat dikalahkan. Ali bersaudara kembali ke Ardabil. Akan tetapi,
tidak lama kemudian Rustam berbalik memusihi dan menyerang Ali bersaudara, dan
Ali terbunuh dalam serangan ini ( 1494 M ).[8]
Periode
selanjutnya, kepemimpinan gerakan Safawi di serahkan pada Ismail yang saat itu masih
berusia tujuh tahun. Selama
lima tahun,
Ismail beserta pasukannya bermarkas di Gilan mempersiapkan kekuatan dan
mengadakan hubungan dengan para pengikutnya di Azerbaijan, Syria, dan Anatolia.
Pasukan yang dipersiapkan itu dinamai Qizilbash ( baret merah ).[9]
B . Kerajaan Safawi pada masa setelah resmi menjadi kerajaan
Pada tahun 1501 M, pasukan Qizilbash dibawah
pimpinan Ismail menyerang dan mengalahkan AK Koyunlu (domba putih) di Sharur dekat
Nakhchivan. Qizilbash terus berusaha memasuki dan menaklukkan Tabriz,
yakni ibu kota AK Koyunlu dan akhirnya berhasil dan mendudukinya. Di kota Tabriz Ismail memproklamasikan dirinya
sebagai raja pertama Dinasti Safawi. Ia disebut juga Ismail I.[10]
Shah
Ismail, seorang sufi yang menyukai filsafat agama, adalah khalifah yang pertama
kali dalam dunia Islam yang menerapkan Syi'ah Itsna 'Asy'ariah sebagai
ajaran resmi negara di Iran, lanjutan dari Timur yang menjadikan paham Syi'ah
sebagai paham resmi negara di Tabriz. Karena Syi'ah menjadi ajaran resmi
negara, maka Shah Ismail pun dijuluki sebagai Shah-e-Syi'ah (raja
orang-orang Syi'ah).[11]
Ismail I berkuasa kurang lebih 23 tahun antara 1501-1524
M. Pada sepuluh tahun pertama ia berhasil memperluas wilayah kekuasaannya,
Buktinya ia dapat menghancurkan sisa-sisa kekuatan AK Koyunlu di Hamadan (1503
M), menguasai propinsi Kaspia di Nazandaran, Gurgan dan Yazd (1504 M), Diyar
Bakr (1505-1507 M) Baghdad dan daerah Barat daya Persia (1508 M), Sirwan (1509
M) dan Khurasan (1510 M). Hanya
dalam waktu sepuluh tahun itu wilayah kekuasaannya sudah meliputi seluruh
Persia dan bagian timur Bulan Sabit Subur (Fertile Crescent).[12]
Tidak sampai di situ, ambisi politik mendorongnya untuk
terus mengembangkan sayap menguasai daerah-daerah lainnya, seperti ke Turki
Usmani. Namun,Ismail bukan hanya menghadapi musuh yang sangat kuat, tetapi juga
sangat membenci golongan Syi’ah. Peperangan dengan Turki Usmani terjadi pada
tahun 1514 M di Chaldiran, dekat Tabriz. Karena keunggulan organisasi militer
Kerajaan Usmani, dalam peperangan ini Ismail I mengalami kekalahan, malah Turki
Usmani yang di pimpin oleh sultan Salim dapat menduduki Tabriz. Kerajaan Safawi terselamatkan dengan pulangnya
Sultan Usmani ke Turki karena terjadi perpecahan di kalangan militer Turki di
negerinya.[13]
Pada
1524, Shah Ismail wafat. Wilayah kekuasaannya meliputi daerah Utara Tranxosiana
sampai Teluk Persia di wilayah selatan. Afganisan di bagian timur hingga bagian
barat Sungai Efrat. Setelah Ismail wafat, puteranya yang bernama Shah Thamasp,
yang berusia sepuluh tahun diangkat sebagai raja. Pada 1554 M, ia mengadakan
perjanjian damai dengan Sulaiman Agung dari Turki Usmani. Dengan perjanjian
ini, seluruh Persia dikuasai kecuali Diar-e-Bakr dan Kurdistan. Shah
Thamasp seorang yang pandai dan pelukis kaligrafi. Ia menulis biografinya
sendiri. Ibu kota dipindahkan ke Kazwin, kota ini dalam relatif singkat menjadi
pusat pendidikan kebudayaan. Dia menjadi penguasa yang paling lama dari
kerajaan Syafawiah. Setelah ia meninggal terjadilah benturan antara para
pangeran Syafawi dengan suku Kijilbash. Ia membagi wilayah kekuasaannya kepada
para pangeran. Pada saat ia meninggal dunia, hanya ada anak kelima yang dekat
dengan ayahnya, yaitu Haedar Mirza. Dia kemudian mengumumkan dirinya sebagai
Sultan. Inilah yang menyebabkan orang-orang Kijilbas berontak. Akhirnya Haedar
Mirza terbunuh.[14]
Kemudian
naiklah Ismail Mirza sebagai Sultan, yang dikenal kejam dan rakus pada 1576.
Setelah naik takhta selama dua tahun tak sekalipun ia menengok ibunya yang
berusia lanjut dan sakit- sakitan. Ia membunuh delapan pangeran dan lima belas
kerabat kerajaan. Ismail Mirza mengumumkan dirinya sebagai penguasa yang adil,
namun pada kenyataannya kepribadian dirinya tidak memiliki sifat keadilan dan
kearifan tersebut. Pada saat kematiannya rakyat merasa terbebas dari
kediktatorannya. Kemudian ia digantikan oleh Muhammad KhudaBanda. Periode ini
tidak ada kemajuan yang berarti.[15]
Rasa
pemusuhan dengan Kerajaan Usmani terus berlangsung sepeninggal Ismail I,
peperangan antara dua kerajaan besar Islam ini terjadi beberapa kali pada masa
pemerintahan Tahmasp I (1524-1576 M), Ismail II (1576-1577 M) dan Muhammad
Khudabanda (1577-1567M). Pada masa tiga raja tersebut kerajaan Safawi mengalami
kelemahan. Hal ini di karenakan sering terjadinya peperangan melawan kerajaan
Usmani yang lebih kuat, juga sering terjadi pertentangan antara kelompok dari
dalam kerajaan Safawi sendiri.[16]
Kondisi
memprihatinkan ini baru bisa diatasi setelah raja Shafawi kelima, Abbas I naik
tahta. Ia memerintah dari tahun 1588-1628 M. Langkah- langkah yang diambil Abbas I dalam
memulihkan kerajaan Safawi adalah:
a). Berusaha menghilangkan dominasi pasukan
Qizilbash dengan cara membentuk pasukan baru yang anggotanya terdiri dari
budak-budak, berasal dari tawanan bangsa Georgia, Armenia, dan Sircassia yang
telah ada sejak raja Tahmasp I.
b). Mengadakan perjanjian damai dengan Turki Utsmani. Untuk mewujudkan perjanjian damai Abbas I terpaksa harus menyerahkan wilayah Azerbaijan, Georgia, dan sebagian wilayah Luristan. Abbas I juga berjanji tidak akan menghina tiga khalifah pertama dalam Islam, yakni, Abu Bakar, Umar, dan Utsman dalam khotbah-khotbah Jum’at. Bahkan sebagai jaminan, ia menyerahkan saudara sepupunya, Haidar Mirza sebagai sandera di Istambul.[17]
c. Memindahkan pusat pemerintahan ke Isfahan, yang sebelumnya berada di Qazwin.
d. Merenovasi militer dengan merekrut para tawanan perang yang terdiri dari bangsa Georgia, Armenia dan Circassia. Syah Abbas I menghilangkan dominasi pasukan Qizilbash terhadap kerajaan Safawi dengan membentuk pasukan baru yang diberi nama Ghulam. Disamping usaha-usaha tersebut ia memakai politik luar negeri yang terbuka, sehingga terwujud hubungan diplomatik dengan Eropa, dan dilakukan kerjasama dan kontak dagang. Ia juga mewujudkan keamanan dalam negeri, sehingga memungkinkan untuk mencapai kemajuan di segala bidang dan pertahanan di dalam negeri semakin kuat.[18]
Usaha-usaha yang dilakukan Abbas I tersebut berhasil membuat kerajaan Shafawi kuat kembali. Kemudian Abbas I mulai memusatkan perhatiannya keluar dengan berusaha merebut kembali wilayah-wilayah kekuasaannya yang hilang. Tahun 1598 M, ia menyerang dan menaklukkan Heart. Dari sana ia melanjutkan serangan merebut Marw dan Balkh. Setelah kekuasaan terbina dengan baik ia juga berhasil mendapatkan kembali wilayah kekuasaannya dari Turki Utsmani. Rasa permusuhan antara dua kerajaan yang berbeda aliran agama ini memang tidak pernah padam. Abbas I mengarahkan serangan-serangannya ke wilayah kekuasaan Kerajaan Utsmani. Pada tahun 1602 M, disaat Turki Utsmani berada dibawah pimpinan Sultan Muhammad III, pasukan Abbas I menyerang dan berhasil menguasai Tabriz, Sirwan, dan Baghdad. Sedangkan kota-kota Nakhchivan, Erivan, Ganja, Tiflis dapat dikuasai tahun 1605- 1606 M. Selanjutnya pada tahun 1622 M, pasukan Abbas I berhasil merebut kepulauan Hurmuz dan mengubah pelabuhan Gurmun menjadi pelabuhan Bandar Abbas.[19]
Masa kekuasaan Abbas I merupakan puncak kejayaan Kerajaan Safawi. Secara politik ia mampu mengatasi berbagai kemelut di dalam negeri yang mengganggu stabilitas negara dan berhasil merebut kembali wilayah-wilayah yang pernah direbut oleh kerajaan lain pada masa raja-raja sebelumnya. Kemajuan yang dicapai kerajaan safawi tidak hanya terbatas dibidang politik. Di bidang yang lain, kerajaan ini juga mengalami banyak kemajuan, Seperti Bidang Ekonomi, Bidang Ilmu Pengetahuan, Bidang Pembangunan Fisik dan Seni.[20]
Setelah berakhirnya kekuasaan Abbas I, kerajaan safawi secara berturut-turut diperintah oleh Shafi Mirza (1628-1642 M), Abbas II (1642-1666 M), Sulaiman (1667-1692 M), Husein (1694-1722 M), Tahmasp II (1722-1732 M), dan Abbas III (1732-1736 M). Pada masa pemerintahan raja-raja ini, kondisi politik kerajaan Safawi mengalami penurunan dan berakibat pada kehancurannya. Hal ini disebabkan oleh keperibadian, sikap dan tindakan mereka yang kurang mendukung serta adanya serangan dari kerajaan Turki Usmani, Mughal dan Rusia.[21]
b). Mengadakan perjanjian damai dengan Turki Utsmani. Untuk mewujudkan perjanjian damai Abbas I terpaksa harus menyerahkan wilayah Azerbaijan, Georgia, dan sebagian wilayah Luristan. Abbas I juga berjanji tidak akan menghina tiga khalifah pertama dalam Islam, yakni, Abu Bakar, Umar, dan Utsman dalam khotbah-khotbah Jum’at. Bahkan sebagai jaminan, ia menyerahkan saudara sepupunya, Haidar Mirza sebagai sandera di Istambul.[17]
c. Memindahkan pusat pemerintahan ke Isfahan, yang sebelumnya berada di Qazwin.
d. Merenovasi militer dengan merekrut para tawanan perang yang terdiri dari bangsa Georgia, Armenia dan Circassia. Syah Abbas I menghilangkan dominasi pasukan Qizilbash terhadap kerajaan Safawi dengan membentuk pasukan baru yang diberi nama Ghulam. Disamping usaha-usaha tersebut ia memakai politik luar negeri yang terbuka, sehingga terwujud hubungan diplomatik dengan Eropa, dan dilakukan kerjasama dan kontak dagang. Ia juga mewujudkan keamanan dalam negeri, sehingga memungkinkan untuk mencapai kemajuan di segala bidang dan pertahanan di dalam negeri semakin kuat.[18]
Usaha-usaha yang dilakukan Abbas I tersebut berhasil membuat kerajaan Shafawi kuat kembali. Kemudian Abbas I mulai memusatkan perhatiannya keluar dengan berusaha merebut kembali wilayah-wilayah kekuasaannya yang hilang. Tahun 1598 M, ia menyerang dan menaklukkan Heart. Dari sana ia melanjutkan serangan merebut Marw dan Balkh. Setelah kekuasaan terbina dengan baik ia juga berhasil mendapatkan kembali wilayah kekuasaannya dari Turki Utsmani. Rasa permusuhan antara dua kerajaan yang berbeda aliran agama ini memang tidak pernah padam. Abbas I mengarahkan serangan-serangannya ke wilayah kekuasaan Kerajaan Utsmani. Pada tahun 1602 M, disaat Turki Utsmani berada dibawah pimpinan Sultan Muhammad III, pasukan Abbas I menyerang dan berhasil menguasai Tabriz, Sirwan, dan Baghdad. Sedangkan kota-kota Nakhchivan, Erivan, Ganja, Tiflis dapat dikuasai tahun 1605- 1606 M. Selanjutnya pada tahun 1622 M, pasukan Abbas I berhasil merebut kepulauan Hurmuz dan mengubah pelabuhan Gurmun menjadi pelabuhan Bandar Abbas.[19]
Masa kekuasaan Abbas I merupakan puncak kejayaan Kerajaan Safawi. Secara politik ia mampu mengatasi berbagai kemelut di dalam negeri yang mengganggu stabilitas negara dan berhasil merebut kembali wilayah-wilayah yang pernah direbut oleh kerajaan lain pada masa raja-raja sebelumnya. Kemajuan yang dicapai kerajaan safawi tidak hanya terbatas dibidang politik. Di bidang yang lain, kerajaan ini juga mengalami banyak kemajuan, Seperti Bidang Ekonomi, Bidang Ilmu Pengetahuan, Bidang Pembangunan Fisik dan Seni.[20]
Setelah berakhirnya kekuasaan Abbas I, kerajaan safawi secara berturut-turut diperintah oleh Shafi Mirza (1628-1642 M), Abbas II (1642-1666 M), Sulaiman (1667-1692 M), Husein (1694-1722 M), Tahmasp II (1722-1732 M), dan Abbas III (1732-1736 M). Pada masa pemerintahan raja-raja ini, kondisi politik kerajaan Safawi mengalami penurunan dan berakibat pada kehancurannya. Hal ini disebabkan oleh keperibadian, sikap dan tindakan mereka yang kurang mendukung serta adanya serangan dari kerajaan Turki Usmani, Mughal dan Rusia.[21]
|
|
D . Penguasa-Penguasa Kerajaan Safawi ( Dengan Tabel
Uraian )
No
|
Nama
|
Tahun Memerintah
|
Uraian
|
1.
|
Ismail
|
1501-1524
|
Dalam
jangka waktu 10 tahun mampu menguasai seluruh Persia, namun di akhir
pemerintahannya Ismail mengalami "sterss" akibat keklahanya, dan
kondisi ini secara tidak langsung memperkeruh politik dalam negerinya
|
2.
|
Tahmasp I
|
1524-1576
|
Masih saja
terjadi peperangan dengan Turki Usmani dan adanya konflik dalam tubuh Qizilbish
|
3.
|
Ismail II
|
1576-1577
|
Masih saja
terjadi peperangan dengan Turki Usmani, dan Qizilbish merupakan sebab
keruntuhannya
|
4.
|
M.
Khudabanda
|
1577-1787
|
Masih saja
terjadi peperangan dengan Turki Usmani dan terajadi kudeta oleh anaknya Abbas
I
|
5.
|
Abbas I
|
1588-1628
|
Mampu
menstabilkan politik dengan cara, (1) menghilangkan dominasi Qizilbish dengan
membentuk pasukan baru, (2) mengadakan perjanjian damai dengan Usmani dengan
cara menyerahkan wilayah Azerbaijan dan Georgia, (3) tidak menghina 3 khulafa
al-Rasyidun. Kemampuan mengatasi politik dalam negeri dan merebut kembali
wiliayah Safawiyah merupakan nilai lus Abbas I sehingga ia menjadi penguasa
menonjol Safawiyah12
|
6.
|
Safi Mirza
|
1628-1642
|
Lepasnya
kota Qandahar, suka minum-minuman keras
|
7.
|
Abbas II
|
1642-1667
|
Mempunyai
jiwa kepemimpinan seperti kakeknya, di mana ia terus mengembangkan bidang
keagamaan
|
8.
|
Sulaiman
|
1667-1694
|
Identik
dengan jiwa pemimpin yang lemah dan pemabuk, ini mengakibatkan para ulama'
mengambil alih kekuasaan di bawah komando Muhammad Bagir
|
9.
|
Husein
|
1694-1722
|
Pemerintahannya
didominasi M.Bagir
|
10.
|
Tahmasp II
|
1722 -1732
|
Safawiyah
semakin rauh, dan adanya pasukan Afghanistan telah berhasil mendudukinya
|
11.
|
Abbas III
|
1732-1736
|
Safawiyah
semakin rauh, dan adanya pasukan Afghanistan telah berhasil mendudukinya.[23]
|
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari paparan di atas,
dapat tarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Kerajaan Safawi berasal dari sebuah gerakan
tarekat yang berdiri di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan. Nama Safawiyah
diambil dari nama pendirinya yaitu Safi al-Din (1252-1334 M). Safi al-Din
mendirikan tarekat Safawiyah setelah ia menggantikan
gurunya yang wafat. Pengikut tarekat ini sangat teguh memegang ajaran agama, karena
tujuannya memerangi orang-orang yang ingkar. Setelah itu memerangi golongan
yang ahli-ahli bid'ah.
Kerajaan Safawi menyatakan
Syi'ah sebagai mazhab negara.
2. Puncak kemajuan kerajaan Safawi dicapai pada
masa pemerintahan Abbas I. Secara politik ia mampu mengatasi berbagai kemelut
di dalam negeri yang mengganggu stabilitas
dan berhasil merebut kembali wilayah-wilayah yang pernah direbut oleh kerajaan lain pada masa raja-raja sebelumnya.
3. Kemajuan yang dicapai kerajaan Safawi tidak
hanya terbatas di bidang politik, tetapi
juga pada bidang ekonomi, bidang ilmu pengetahuan dan pembangunan fisik dan seni.
SARAN
Demikian yang dapat saya paparkan mengenai materi yang
menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan
kelemahannya, karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau
referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini. Penulis banyak
berharap para pembaca yang budiman sudi memberikan kritik dan saran yang membangun
kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah di
kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada
khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.
[1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam,
PT Raja Grafindo, Jakarta, 1994, hlm 138
[10] Usman Hadi, Sejarah Kerajaan Safawi Di Persia, http://usman-wwwmaal-khidmah.blogspot.co.id/p/sejarah-kerajaan-safawi-di-persia.html
[11] M. Abdul Karim,Sejarah Pemikiran dan
Peradaban Islam, PUSTAKA BOOK PUBLISHER, Yogyakarta, 2007, hlm 305
[12] Usman Hadi, Sejarah Kerajaan Safawi Di Persia, http://usman-wwwmaal-khidmah.blogspot.co.id/p/sejarah-kerajaan-safawi-di-persia.html Diakses pada tanggal 22 April 2016
[13] Badri Yatim, op. cit., hlm 142
[14] M. Abdul Karim, op. cit., hlm 307
[18] Almunadi, “KERAJAAN SAFAWI DI PERSIA DAN
FENOMENANYA”, hlm 9
[21] Almunadi, op. cit., hlm 10
[22] Badri Yatim, op. cit., hlm 146
[23] Istianah Abubakar, SEJARAH PERADABAN
ISLAM UNTUK PERGURUAN TINGGI ISLAM DAN UMUM, UIN-Malang Press, Malang,
2008, hlm 132
Tidak ada komentar:
Posting Komentar