Iklan

Cari artikel menarik di blog sini

Minggu, 08 Mei 2016

Peradaban Islam di Masa Kerajaan Safawi


Peradaban Islam di Masa Kerajaan Safawi
A . Kerajaan Safawi pada masa sebelum resmi menjadi kerajaan
Ketika kerajaan Usmani sudah mencapai puncak kemajuan­nya, kerajaan Safawi di Persia baru berdiri. Kerajaan ini berkem­bang dengan cepat. Dalam perkembangannya, kerajaan Safawi sering bentrok dengan Turki Usmani.
Berbeda dari dua kerajaan besar Islam lainnya (Usmani dan Mughal), Kerajaan Safawi menyatakan Syi'ah sebagai mazhab negara. Karena itu, kerajaan ini dapat dianggap sebagai peletak pertama dasar terbentuknya negara Iran dewasa ini.
Kerajaan Safawi berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berdiri di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan. Tarekat ini diberi nama Tarekat Safawiyah, didirikan pada waktu yang hampir bersamaan dengan berdirinya kerajaan Usmani. Nama Safawiyah, diambil dari nama pendirinya, Safi al-Din (1252-1334 M), dan nama Safawi itu terus dipertanankan sampai Tarekat ini menjadi gerakan politik. Bahkan, nama itu terus dilestarikan setelah ge­rakan ini berhasil mendirikan kerajaan.[1]

Safi al-Din mendirikan tarekat Safawiyah setelah ia menggantikan guru dan sekaligus mertuanya yang wafat tahun 1301 M. Pengikut tarekat ini sangat teguh memegang ajaran agama. Pada mulanya gerakan tasawuf Safawiyah bertujuan memerangi orang-orang ingkar, kemudian memerangi golongan yang mereka sebut "ahli-ahli bidah". Tarekat yang dipimpin Safi al-Din ini semakin penting terutama setelah ia mengubah bentuk tarekat itu dari pengajian tasawuf murni yang bersifat lokal menjadi gerakan keagamaan yang besar pengaruhnya di Persia, Syria, dan Anatolia. Di negeri-negeri di luar Ardabil Safi al-Din menempatkan seorang wakil yang memimpin murid-muridnya. Wakil itu diberi gelar "khalifah".[2]
Suatu ajaran agama yang dipegang secara fanatik biasanya kerap kali menimbulkan keinginan di kalangan penganut ajaran itu untuk berkuasa. Karena itu, lama kelamaan murid-murid tarekat Safawiyah berubah menjadi tentara yang teratur, fanatik dalam kepercayaan dan menentang setiap orang yang bermazhab selain Syi'ah.[3]
Kecenderungan memasuki dunia politik itu mendapat wujud kongkritnya pada masa kepemimpinan Juneid (1447-1460 M). Dinasti Safawi memperluas geraknya dengan menambahkan kegiatan politik pada kegiatan keagamaan. Perluasan kegiatan ini menimbulkan konflik antara Juneid dengan penguasa Kara Koyunlu (domba hitam), salah satu suku bangsa Turki yang berkuasa di wilayah itu. Dalam konflik tersebut Juneid kalah dan diasing­kan ke suatu tempat. Di tempat baru ini ia mendapat perlindungan dari Penguasa Diyar Bakr, AK-Koyunlu (domba putih), juga satu suku bangsa Turki. Ia tinggal di istana Uzun Hasan, yang ketika itu menguasai sebagian besar Persia.[4]
Selama dalam pengasingan, Juneid tidak tinggal diam. Ia malah dapat menghimpun kekuatan untuk kemudian beraliansi secara politik dengan Uzun Hasan. Ia juga berhasil mempersunting salah seorang saudara perempuan Uzun Hasan. Pada tahun 1459 M Juneid mencoba merebut Ardabil tetapi gagal. Pada tahun 1460 M ia mencoba merebut Sircassia tetapi pasukan yang dipim­pinnya dihadang oleh tentara Sirwan. Ia sendiri terbunuh dalam pertempuran tersebut.[5]
Ketika itu anak Juneid, Haidar, masih kecil dan dalam asuhan Uzun Hasan. Karena itu, kepemimpinan gerakan Safawi baru bisa diserahkan kepadanya secara resmi pada tahun 1470 M. Hubung­an Haidar dengan Uzun Hasan semakin erat setelah Haidar mengawini salah seorang puteri Uzun Hasan. Dari perkawinan ini lahirlah Ismail yang di kemudian hari menjadi pendiri kerajaan Safawi di Persia.[6]
Kemenangan AK Koyunlu tahun 1476 M terhadap Kara Koyunlu membuat gerakan militer Safawi yang dipimpin oleh Haidar dipandang sebagai rival politik oleh AK Koyunlu dalam meraih kekuasaan selanjutnya. Padahal, sebagaimana telah dise­butkan, Safawi adalah sekutu AK Koyunlu. AK Koyunlu berusaha melenyapkan kekuatan militer dan kekuasaan Dinasti Safawi. Karena itu, ketika Safawi menyerang wilayah Sircassia dan pasu­kan Sirwan, AK Koyunlu mengirimkan bantuan militer kepada Sirwan, sehingga pasukan Haidar kalah dan Haidar sendiri terbu­nuh dalam peperangan itu.[7]
Ali, putera dan pengganti Haidar, didesak oleh bala tentara­nya untuk menuntut balas atas kematian ayahnya, terutama terha­dap AK Koyunlu. Tetapi Ya’kub pemimpin AK Koyunlu dapat menangkap dan memenjarakan Ali bersama saudaranya, Ibrahim dan Ismail, dan ibunya, di Fars selama empat setengah tahun (1489-1493 M). Mereka dibebaskan oleh Rustam, putera mahko­ta AK Koyunlu, dengan syarat mau membantunya memerangi saudara sepupunya. Setelah saudara sepupu Rustam dapat dikalahkan. Ali bersaudara kembali ke Ardabil. Akan tetapi, tidak lama kemudian Rustam berbalik memusihi dan menyerang Ali bersaudara, dan Ali terbunuh dalam serangan ini ( 1494 M ).[8]
Periode selanjutnya, kepemimpinan gerakan Safawi di serahkan pada Ismail yang saat itu masih berusia tujuh tahun. Selama lima tahun, Ismail beserta pasukannya bermarkas di Gilan mempersiapkan kekuatan dan mengadakan hubungan dengan para pengikutnya di Azerbaijan, Syria, dan Anatolia. Pasukan yang dipersiapkan itu dinamai Qizilbash ( baret merah ).[9]

B . Kerajaan Safawi pada masa setelah resmi menjadi kerajaan
Pada tahun 1501 M, pasukan Qizilbash dibawah pimpinan Ismail menyerang dan mengalahkan AK Koyunlu (domba putih) di Sharur dekat Nakhchivan. Qizilbash terus berusaha memasuki dan menaklukkan Tabriz, yakni ibu kota AK Koyunlu dan akhirnya berhasil dan mendudukinya. Di kota Tabriz Ismail memproklamasikan dirinya sebagai raja pertama Dinasti Safawi. Ia disebut juga Ismail I.[10]
Shah Ismail, seorang sufi yang menyukai filsafat agama, adalah khalifah yang pertama kali dalam dunia Islam yang menerapkan Syi'ah Itsna 'Asy'ariah sebagai ajaran resmi negara di Iran, lanjutan dari Timur yang menjadikan paham Syi'ah sebagai paham resmi negara di Tabriz. Karena Syi'ah menjadi ajaran resmi negara, maka Shah Ismail pun dijuluki sebagai Shah-e-Syi'ah (raja orang-orang Syi'ah).[11]
Ismail I berkuasa kurang lebih 23 tahun antara 1501-1524 M. Pada sepuluh tahun pertama ia berhasil memperluas wilayah kekuasaannya, Buktinya ia dapat menghancurkan sisa-sisa kekuatan AK Koyunlu di Hamadan (1503 M), menguasai propinsi Kaspia di Nazandaran, Gurgan dan Yazd (1504 M), Diyar Bakr (1505-1507 M) Baghdad dan daerah Barat daya Persia (1508 M), Sirwan (1509 M) dan Khurasan (1510 M). Hanya dalam waktu sepuluh tahun itu wilayah kekuasaannya sudah meliputi seluruh Persia dan bagian timur Bulan Sabit Subur (Fertile Crescent).[12]
Tidak sampai di situ, ambisi politik mendorongnya untuk terus mengembangkan sayap menguasai daerah-daerah lainnya, seperti ke Turki Usmani. Namun,Ismail bukan hanya menghadapi musuh yang sangat kuat, tetapi juga sangat membenci golongan Syi’ah. Peperangan dengan Turki Usmani terjadi pada tahun 1514 M di Chaldiran, dekat Tabriz. Karena keunggulan organisasi militer Kerajaan Usmani, dalam peperangan ini Ismail I mengalami kekalahan, malah Turki Usmani yang di pimpin oleh sultan Salim dapat menduduki Tabriz. Kerajaan Safawi terselamatkan dengan pulangnya Sultan Usmani ke Turki karena terjadi perpecahan di kalangan militer Turki di negerinya.[13]
Pada 1524, Shah Ismail wafat. Wilayah kekuasaannya meliputi daerah Utara Tranxosiana sampai Teluk Persia di wilayah selatan. Afganisan di bagian timur hingga bagian barat Sungai Efrat. Setelah Ismail wafat, puteranya yang bernama Shah Thamasp, yang berusia sepuluh tahun diangkat sebagai raja. Pada 1554 M, ia mengadakan perjanjian damai dengan Sulaiman Agung dari Turki Usmani. Dengan perjanjian ini, seluruh Persia dikuasai kecuali Diar-e-Bakr dan Kurdistan. Shah Thamasp seorang yang pandai dan pelukis kaligrafi. Ia menulis biografinya sendiri. Ibu kota dipindahkan ke Kazwin, kota ini dalam relatif singkat menjadi pusat pendidikan kebudayaan. Dia menjadi penguasa yang paling lama dari kerajaan Syafawiah. Setelah ia meninggal terjadilah benturan antara para pangeran Syafawi dengan suku Kijilbash. Ia membagi wilayah kekuasaannya kepada para pangeran. Pada saat ia meninggal dunia, hanya ada anak kelima yang dekat dengan ayahnya, yaitu Haedar Mirza. Dia kemudian mengu­mumkan dirinya sebagai Sultan. Inilah yang menyebabkan orang-orang Kijilbas berontak. Akhirnya Haedar Mirza terbunuh.[14]
Kemudian naiklah Ismail Mirza sebagai Sultan, yang dikenal kejam dan rakus pada 1576. Setelah naik takhta selama dua tahun tak sekalipun ia menengok ibunya yang berusia lanjut dan sakit- sakitan. Ia membunuh delapan pangeran dan lima belas kerabat kerajaan. Ismail Mirza mengumumkan dirinya sebagai penguasa yang adil, namun pada kenyataannya kepribadian dirinya tidak memiliki sifat keadilan dan kearifan tersebut. Pada saat kematiannya rakyat merasa terbebas dari kediktatorannya. Kemudian ia digantikan oleh Muhammad KhudaBanda. Periode ini tidak ada kemajuan yang berarti.[15]
Rasa pemusuhan dengan Kerajaan Usmani terus berlangsung sepeninggal Ismail I, peperangan antara dua kerajaan besar Islam ini terjadi beberapa kali pada masa pemerintahan Tahmasp I (1524-1576 M), Ismail II (1576-1577 M) dan Muhammad Khudabanda (1577-1567M). Pada masa tiga raja tersebut kerajaan Safawi mengalami kelemahan. Hal ini di karenakan sering terjadinya peperangan melawan kerajaan Usmani yang lebih kuat, juga sering terjadi pertentangan antara kelompok dari dalam kerajaan Safawi sendiri.[16]
Kondisi memprihatinkan ini baru bisa diatasi setelah raja Shafawi kelima, Abbas I naik tahta. Ia memerintah dari tahun 1588-1628 M. Langkah- langkah yang diambil Abbas I dalam memulihkan kerajaan Safawi adalah:
a). Berusaha menghilangkan dominasi pasukan Qizilbash dengan cara membentuk pasukan baru yang anggotanya terdiri dari budak-budak, berasal dari tawanan bangsa Georgia, Armenia, dan Sircassia yang telah ada sejak raja Tahmasp I.                   
b). Mengadakan perjanjian damai dengan Turki Utsmani. Untuk mewujudkan perjanjian damai Abbas I terpaksa harus menyerahkan wilayah Azerbaijan, Georgia, dan sebagian wilayah Luristan. Abbas I juga berjanji tidak akan menghina tiga khalifah pertama dalam Islam, yakni, Abu Bakar, Umar, dan Utsman dalam khotbah-khotbah Jum’at. Bahkan sebagai jaminan, ia menyerahkan saudara sepupunya, Haidar Mirza sebagai sandera di Istambul.[17]        
c. Memindahkan pusat pemerintahan ke Isfahan, yang sebelumnya berada di Qazwin.
d. Merenovasi militer dengan merekrut para tawanan perang yang terdiri dari bangsa Georgia, Armenia dan Circassia. Syah Abbas I menghilangkan dominasi pasukan Qizilbash terhadap kerajaan Safawi dengan membentuk pasukan baru yang diberi nama Ghulam. Disamping usaha-usaha tersebut ia memakai politik luar negeri yang terbuka, sehingga terwujud hubungan diplomatik dengan Eropa, dan dilakukan kerjasama dan kontak dagang. Ia juga mewujudkan keamanan dalam negeri, sehingga memungkinkan untuk mencapai kemajuan di segala bidang dan pertahanan di dalam negeri semakin kuat.[18]
            Usaha-usaha yang dilakukan Abbas I tersebut berhasil membuat kerajaan Shafawi kuat kembali. Kemudian Abbas I mulai memusatkan perhatiannya keluar dengan berusaha merebut kembali wilayah-wilayah kekuasaannya yang hilang. Tahun 1598 M, ia menyerang dan menaklukkan Heart. Dari sana ia melanjutkan serangan merebut Marw dan Balkh. Setelah kekuasaan terbina dengan baik ia juga berhasil mendapatkan kembali wilayah kekuasaannya dari Turki Utsmani. Rasa permusuhan antara dua kerajaan yang berbeda aliran agama ini memang tidak pernah padam. Abbas I mengarahkan serangan-serangannya ke wilayah kekuasaan Kerajaan Utsmani. Pada tahun 1602 M, disaat Turki Utsmani berada dibawah pimpinan Sultan Muhammad III, pasukan Abbas I menyerang dan berhasil menguasai Tabriz, Sirwan, dan Baghdad. Sedangkan kota-kota Nakhchivan, Erivan, Ganja, Tiflis dapat dikuasai tahun 1605- 1606 M. Selanjutnya pada tahun 1622 M, pasukan Abbas I berhasil merebut kepulauan Hurmuz dan mengubah pelabuhan Gurmun menjadi pelabuhan Bandar Abbas.[19]           
            Masa kekuasaan Abbas I merupakan puncak kejayaan Kerajaan Safawi. Secara politik ia mampu mengatasi berbagai kemelut di dalam negeri yang mengganggu stabilitas negara dan berhasil merebut kembali wilayah-wilayah yang pernah direbut oleh kerajaan lain pada masa raja-raja sebelumnya. Kemajuan yang dicapai kerajaan safawi tidak hanya terbatas dibidang politik. Di bidang yang lain, kerajaan ini juga mengalami banyak kemajuan, Seperti Bidang Ekonomi, Bidang Ilmu Pengetahuan, Bidang Pembangunan Fisik dan Sen
i.[20]   
            Setelah berakhirnya kekuasaan Abbas I, kerajaan safawi secara berturut-turut
diperintah oleh Shafi Mirza (1628-1642 M), Abbas II (1642-1666 M), Sulaiman (1667-1692 M), Husein (1694-1722 M), Tahmasp II (1722-1732 M), dan Abbas III (1732-1736 M). Pada masa pemerintahan raja-raja ini, kondisi politik kerajaan Safawi mengalami penurunan dan berakibat pada kehancurannya. Hal ini disebabkan oleh keperibadian, sikap dan tindakan mereka yang kurang mendukung serta adanya serangan dari kerajaan Turki Usmani, Mughal dan Rusia.[21]
Safi al-Din (1252-1334 M)
 
C . Silsilah Raja-Raja Kerajaan Safawi


 












11. Abbas III (1732-1736 M)
 
       [22]

D . Penguasa-Penguasa Kerajaan Safawi ( Dengan Tabel Uraian )

No
Nama
Tahun   Memerintah
Uraian
1.
Ismail
1501-1524
Dalam jangka waktu 10 tahun mampu menguasai seluruh Persia, namun di akhir pemerintahannya Ismail mengalami "sterss" akibat keklahanya, dan kondisi ini secara tidak langsung memperkeruh politik dalam negerinya
2.
Tahmasp I
1524-1576
Masih saja terjadi peperangan dengan Turki Usmani dan adanya konflik dalam tubuh Qizilbish
3.
Ismail II
1576-1577
Masih saja terjadi peperangan dengan Turki Usmani, dan Qizilbish merupakan sebab keruntuhannya
4.
M. Khudabanda
1577-1787
Masih saja terjadi peperangan dengan Turki Usmani dan terajadi kudeta oleh anaknya Abbas I
5.
Abbas I
1588-1628
Mampu menstabilkan politik dengan cara, (1) menghilangkan dominasi Qizilbish dengan membentuk pasukan baru, (2) mengadakan perjanjian damai dengan Usmani dengan cara menyerahkan wilayah Azerbaijan dan Georgia, (3) tidak menghina 3 khulafa al-Rasyidun. Kemampuan mengatasi politik dalam negeri dan merebut kembali wiliayah Safawiyah merupakan nilai lus Abbas I sehingga ia menjadi penguasa menonjol Safawiyah12
6.
Safi Mirza
1628-1642
Lepasnya kota Qandahar, suka minum-minuman keras
7.
Abbas II
1642-1667
Mempunyai jiwa kepemimpinan seperti kakeknya, di mana ia terus mengembangkan bidang keagamaan
8.
Sulaiman
1667-1694
Identik dengan jiwa pemimpin yang lemah dan pemabuk, ini mengakibatkan para ulama' mengambil alih kekuasaan di bawah komando Muhammad Bagir
9.
Husein
1694-1722
Pemerintahannya didominasi M.Bagir
10.
Tahmasp II
1722 -1732
Safawiyah semakin rauh, dan adanya pasukan Afghanistan telah berhasil mendudukinya
11.
Abbas III
1732-1736
Safawiyah semakin rauh, dan adanya pasukan Afghanistan telah berhasil mendudukinya.[23]





BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Dari paparan di atas, dapat tarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1.  Kerajaan Safawi berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berdiri  di Ardabil,  sebuah kota di Azerbaijan. Nama Safawiyah diambil dari nama pendirinya yaitu Safi al-Din (1252-1334 M). Safi al-Din mendirikan tarekat  Safawiyah setelah ia menggantikan gurunya yang wafat. Pengikut tarekat ini  sangat teguh memegang ajaran agama, karena tujuannya memerangi orang-orang yang ingkar. Setelah itu memerangi golongan yang ahli-ahli bid'ah.
Kerajaan Safawi menyatakan Syi'ah sebagai mazhab negara.
2.  Puncak kemajuan kerajaan Safawi dicapai pada masa pemerintahan Abbas I. Secara politik ia mampu mengatasi berbagai kemelut di dalam negeri yang  mengganggu stabilitas dan berhasil merebut kembali wilayah-wilayah yang  pernah direbut oleh  kerajaan lain pada masa raja-raja sebelumnya.
3.  Kemajuan yang dicapai kerajaan Safawi tidak hanya terbatas di bidang  politik, tetapi juga pada bidang ekonomi, bidang ilmu pengetahuan dan  pembangunan fisik dan seni.
SARAN
Demikian yang dapat saya paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini. Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman sudi memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.


[1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, PT Raja Grafindo, Jakarta, 1994, hlm 138
[2] Ibid., hlm 139
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Ibid., hlm 140
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Ibid., hlm 141
[9] Ibid.
[11] M. Abdul Karim,Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, PUSTAKA BOOK PUBLISHER, Yogyakarta, 2007, hlm 305
[12] Usman Hadi, Sejarah Kerajaan Safawi Di Persia, http://usman-wwwmaal-khidmah.blogspot.co.id/p/sejarah-kerajaan-safawi-di-persia.html Diakses pada tanggal  22 April 2016
[13] Badri Yatim, op. cit., hlm 142
[14] M. Abdul Karim, op. cit., hlm 307
[15] Ibid., hlm 308
[16] Badri Yatim, loc. cit.
[17] Ibid., hlm 143
[18] Almunadi, “KERAJAAN SAFAWI DI PERSIA DAN FENOMENANYA”, hlm 9
[19] Badri Yatim, loc. cit.
[20] Ibid., hlm 144
[21] Almunadi, op. cit., hlm 10
[22] Badri Yatim, op. cit., hlm 146
[23] Istianah Abubakar, SEJARAH PERADABAN ISLAM UNTUK PERGURUAN TINGGI ISLAM DAN UMUM, UIN-Malang Press, Malang, 2008, hlm 132

Tidak ada komentar:

Posting Komentar