A . PENGERTIAN ULUMUL HADITS
Hadits adalah segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan,
taqrir (persetujuan), atau sifat.[1]
Haditst menurut istilah
ahli, hadits adalah: Apa yang disandarkan kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam, baik berupa ucapan, perbuatan, penetapan sifat, atau sirah beliau,
baik sebelum kenabian atau sesudahnya.
Sedangkan menurut ahli
ushul fisih, hadits adalah perkataan, perbuatan, dan penetapan yang disandarkan
kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam setelah kenabiannya. Adapun
sebelum kenabian tidak dianggap sebagai hadits, karena yang dimaksud dengan
hadits adalah mengerjakan apa yang menjadi setelah kenabian.[2]
Secara umum para ulama
Hadits membagi Ilmu Hadits kepada dua bagian, yaitu Ilmu Hadits Riwayah (‘ilm
al Hadits Riwayah) dan Hadits Dirayah (‘ilm al Hadits Dirayah):
a. Pengertian Ilmu Hadits Riwayah
Ilmu hadits riwayah adalah
ilmu yang mengandung pembicaraan tentang penukilan sabda-sabda Nabi,
perbuatan-perbuatan beliau, hal-hal yang beliau benarkan, atau sifat-sifat
beliau sendiri, secara detail dan dapat dipertanggungjawabkan.
b.
Pengertian
Ilmu Hadits Dirayah
Ilmu hadits dirayah yaitu
satu ilmu yang mempunyai beberapa kaidah (patokan), yang dengan kaidah-kaidah
itu dapat diketahui keadaan perawi (sanad) dan diriwayatkan (marwiy)
dari segi diterima atau ditolaknya.[3]
B . METODE KAJIAN YANG DIGUNAKAN
Adapun metode yang
digunakan dalam kajian suatu hadits adalah (1) metode takhrij
dengan menggunakan teori ilmu Takhrij dan (2) metode tahlili
dengan menggunakan ilmu syarah. Adapun
langkah yang ditempuh dalam kajian ini antara lain sebagai berikut:
1. Metode Takhrij
Metode Takhrij yang menggunakan teori ilmu al-Takhrij, terdiri atas Takhrij matan dan Takhrij sanad. Dalam Takhrij matan ditempuh langkah-langkah: (1) menginventarisir hadits yang dikaji, (2) membandingkan antara matan yang satu dengan yang lainnya, dan (3) menelusuri keberadaan hadits dengan cara meng-inventarisir kitab-kitab yang mengutip hadits.
Dalam Takhrij sanad ditempuh langkah-langkah: (1) menginventarisir rawi hadits sejak shahabat hingga mukhrij dan (2) menelusuri riwayat para rawi, sejak kelahiran, tempat tinggal, gurunya, muridnya hingga wafatnya.
Dalam penelitian tashih ditempuh langkah (1) meneliti ittishal tidaknya sanad, (2) menilai dlabit atau tidaknya para rawi, (3) menelusuri sama atau tidaknya matan, dan terdapat syadz, maqlub, mudraj dan tidaknya hadits yang diteliti, dan (4) menginventarisir pandangan muhaddits tentang para rawi hadits yang diteliti.
2. Metode Tahlili
Metode tahlilisl-hadits dengan menggunakan ilmu syarah al-hadits ditempuh langkah naqli atau al-Riwayat dan langkah ‘aqly atau al-Dirayat. Langkah naqli merupakan syarah al-hadits bi al-Ma’tsur, terdiri atas (1) munasabat al-hadits dengan al-Qur’an, (2) munasabat al-hadits dengan hadits lainnya, (3) pandangan shahabat dan tabi’in tentang hadits yang diteliti, dan (4) menginventarisir pandangan ulama syarah hadits.
Sedangkan dalam langkah ‘aql atau bi al-Ra`yi terdiri atas (1) menerjemahkan hadits ke dalam bahasa Indonesia, (2) menerangkan makna kata-kata yang tercantum dalam hadits, (3) menjelaskan istilah, (4) menentukan essensi hadits, (5) menginventarisir nilai-nilai yang terkandung dalam hadits yang diteliti, dan (6) menganalisis hadits yang disoroti dari berbagai sudut, untuk mendapatkan implikasinya terhadap kehidupan.[4]
1. Metode Takhrij
Metode Takhrij yang menggunakan teori ilmu al-Takhrij, terdiri atas Takhrij matan dan Takhrij sanad. Dalam Takhrij matan ditempuh langkah-langkah: (1) menginventarisir hadits yang dikaji, (2) membandingkan antara matan yang satu dengan yang lainnya, dan (3) menelusuri keberadaan hadits dengan cara meng-inventarisir kitab-kitab yang mengutip hadits.
Dalam Takhrij sanad ditempuh langkah-langkah: (1) menginventarisir rawi hadits sejak shahabat hingga mukhrij dan (2) menelusuri riwayat para rawi, sejak kelahiran, tempat tinggal, gurunya, muridnya hingga wafatnya.
Dalam penelitian tashih ditempuh langkah (1) meneliti ittishal tidaknya sanad, (2) menilai dlabit atau tidaknya para rawi, (3) menelusuri sama atau tidaknya matan, dan terdapat syadz, maqlub, mudraj dan tidaknya hadits yang diteliti, dan (4) menginventarisir pandangan muhaddits tentang para rawi hadits yang diteliti.
2. Metode Tahlili
Metode tahlilisl-hadits dengan menggunakan ilmu syarah al-hadits ditempuh langkah naqli atau al-Riwayat dan langkah ‘aqly atau al-Dirayat. Langkah naqli merupakan syarah al-hadits bi al-Ma’tsur, terdiri atas (1) munasabat al-hadits dengan al-Qur’an, (2) munasabat al-hadits dengan hadits lainnya, (3) pandangan shahabat dan tabi’in tentang hadits yang diteliti, dan (4) menginventarisir pandangan ulama syarah hadits.
Sedangkan dalam langkah ‘aql atau bi al-Ra`yi terdiri atas (1) menerjemahkan hadits ke dalam bahasa Indonesia, (2) menerangkan makna kata-kata yang tercantum dalam hadits, (3) menjelaskan istilah, (4) menentukan essensi hadits, (5) menginventarisir nilai-nilai yang terkandung dalam hadits yang diteliti, dan (6) menganalisis hadits yang disoroti dari berbagai sudut, untuk mendapatkan implikasinya terhadap kehidupan.[4]
C. PENDEKATAN DALAM ULUMUL HADITS
Dalam studi hadis ada beberapa pendekatan yang
ditempu oleh para ahli hadis dalam rangka menjaga keshahihan hadits. Diantara upaya yang dilakukan adalah :
1.Melacak sanad (mata rantai )hadits
1.Melacak sanad (mata rantai )hadits
Setelah
nabi wafat, tidak ada keraguan para sahabat ketika mendengar berita dari
sahabat yang lain, demikian juga para tabi’in tidak ragu menerima
hadis. Keadaan berubah ketika ada upaya propokasi dari seorang yahudi yang
bernama Abdullah Ibn Saba’dengan anjuran mempertuhankan Ali Ibn Abi
Thalib.Disisi lain Ibn Saba’ juga memalsukan hadis. Pada saat itu para sahabat
dan tabi’in mulai berhati- hati dalam mentransformasi hadis.Mereka akan
menerima hadis apabila melalui jalur dan nara sumber yang mereka percayai
(selektivitas) Dengan melacak jalur dan mata rantai suatu hadis, maka
mereka bisa membedakan hadis shahih dengan hadis yang dipalsukan orang
yang tidak bertanggung jawab.
2.Autentikasi Hadis
Praktek autentikasi hadis sebagai salah satu
metode memelihara kebenaran hadis, bahkan sudah terjadi sejak jaman
sahabat dan tabi’in.Orang yang menerima hadis, dapat mengkaji ulang kepada
sahabat,tabi’in maupun para imam,terkhusus setelah terjadinya
fitnah.Autentikasi tidak hanya terbatas pada isnad, bahkan mencakupi
pemeriksaan terhadap materi hadis. Salah satu upaya yang dilakukan ulama
dalam hal autentikasi hadis adalah dengan mengembangkan
berbagai pengetahuan, menciptakan berbagai kaidah, menyusun berbagai istilah
dan membuat penelitian sanad dan matan hadis.
3.Metode Kritik Perawi
Sebenarnya antara sanad dan rawi adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dan salah satu pendekatan yang dilakukan para ulama hadis untuk menganalisa otentisitas adalah dengan mengumpulkan secara sungguh-sungguh biografi para perawi hadis, kemudian menela’ahnya secara kritis kehidupan mereka tanpa mengenal rasa sungkan, segan dan khawatirakan resiko apapun. Mereka secara jujur memberikan penilaian yang objektip bagi setiap perawi,kelemahan dan kecacatan perawi tidak ada yang tertutupi. Dan dalam proses kritik perawi hadis dimulai dengan melakukan upaya pengelompokan perawi maqbul dan perawi mardud bedasarkan informasi dari sumber terpercaya tentang kehidupan pribadi perawi.[5]
3.Metode Kritik Perawi
Sebenarnya antara sanad dan rawi adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dan salah satu pendekatan yang dilakukan para ulama hadis untuk menganalisa otentisitas adalah dengan mengumpulkan secara sungguh-sungguh biografi para perawi hadis, kemudian menela’ahnya secara kritis kehidupan mereka tanpa mengenal rasa sungkan, segan dan khawatirakan resiko apapun. Mereka secara jujur memberikan penilaian yang objektip bagi setiap perawi,kelemahan dan kecacatan perawi tidak ada yang tertutupi. Dan dalam proses kritik perawi hadis dimulai dengan melakukan upaya pengelompokan perawi maqbul dan perawi mardud bedasarkan informasi dari sumber terpercaya tentang kehidupan pribadi perawi.[5]
D . FAEDAH MEMPELAJARI ULUMUL HADITS
Dengan mempelajari Ilmu Hadits Dirayah ini,
banyak sekali faedah yang diperoleh, antara lain;
a. Mengetahui pertumbuhan dan perkembangan
hadits dari masa ke masa sejak masa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
sampai sekarang.
b. Dapat mengetahui tokoh-tokoh dan usaha-usaha
yang telah mereka lakukan dalam mengumpulkan, memelihara dan meriwayatkan
hadits.
c. Mengetahui kaidah-kaidah yang dipergunakan
oleh para Ulama dalammengklasifikasikan hadits lebih lanjut.
d. Dapat mengetahui istilah-istilah,
nilai-nilai, dan kriteria-kriteria hadits sebagai pedoman dalam beristimbat.
Dari beberapa faedah di atas, apabila diambil
intisarinya, maka faedah mempelajari Ilmu Hadis Dirayah adalah untuk mengetahui
kualitas sebuah hadits, apabila ia maqbul (diterima) dan mardud (ditolak), baik
dilihat dari sudut sanad maupun matannya.[6]
E . SEJARAH PERKEMBANGAN
ULUMUL HADITS
Pada dasarnya Ulumul Hadis
telah lahir sejak dimulainya periwayatan hadis di dalam Islam, terutama setelah
Rasul SAW wafat, ketika umat merasakan perlunya menghimpun hadis-hadis Rasul SAW
dikarenakan adanya kekhawatiran hadis-hadis tersebut akan hilang atau lenyap.
Para sahabat mulai giat melakukan pencatatan dan periwayatan hadis. Mereka
telah mulai mempergunakan kaidah-kaidah dan metode-metode tertentu dalam
menerima hadis, namun mereka belumlah menuliskan kaidah-kaidah tersebut.
Dalam kitab Mabahits Ulumil Hadis, Syekh Manna Al-Qaththani menyimpulkan bahwa yang
mendasari lahir dan berkembangnya Ilmu Hadis ada 2 (dua) hal pokok, yaitu
adanya: (1) dorongan agama, dan (2) dorongan sejarah.
Secara umum sejarah
pertumbuhan dan perkembangan ilmu hadis bisa dikelompokkan menjadi menjadi tiga
periodisasi, mulai awal lahirnya ilmu hadis sampai pada masa kekinian yaitu
meliputi: 1) masa klasik, 2) masa pertengahan dan 3) masa modern.
a.
Masa Klasik (Masa Nabi SAW sampai Abad 7 H)
Hadis-hadis
Nabi yang terhimpun di dalam kitab-kitab hadis yang ada sekarang adalah hasil
kesungguhan para sahabat dalam menerima dan memelihara dimasa Nabi SAW dahulu.
Apa yang telah diterima oleh sahabat dari Nabi SAW disampaikan pula oleh mereka
kepada sahabat lain yang tidak hadir ketika itu, dan selanjutnya mereka
menyampaikannya kepada generasi berikutnya dan demikianlah seterusnya hingga
sampai kepada perawi terakhir yang melakukan kodifikasi hadis.
Cara
penerimaan hadis dimasa Nabi SAW tidak sama dengan penerimaan hadis di masa
generasi sesudahnya. Penerimaan hadis dimasa Nabi SAW dilakukan oleh sahabat
dekat beliau, seperti Khulafa’ al-Rasyidin dan dari kalangan sahabat
lainnya. Para sahabat Nabi mempunyai minat yang besar untuk memperoleh hadis
Nabi SAW, oleh karenanya mereka berusaha keras mengikuti Nabi SAW agar ucapan,
perbuatan dan taqrir beliau dapat mereka terima atau lihat secara langsung. Apabila diantara mereka ada yang berhalangan, maka
mereka mencari sahabat yang kebetulan mengikuti atau hadir bersama Nabi SAW
ketika itu untuk meminta apa yang mereka peroleh dari beliau.
Pada
masa ini kritik atau penelitian terhadap suatu riwayat (hadis) yang menjadi
cikal bakal ilmu hadis terutama ilmu hadis dirayah dilakukan dengan cara
yang sederhana sekali. Apabila seorang sahabat ragu-ragu menerima suatu
riwayat dari sahabat lainnya, ia segera menemui Nabi SAW atau sahabat lain yang
dapat dipercaya untuk mengonfirmasikannya. Setelah itu, barulah ia menerima dan
mengamalkan hadis tersebut.
Pada
masa Sahabat yang dimulai dari khalifah Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali, begitu
pula dengan khalifah-khalifah sesudahnya, terus menjunjung tinggi hadis-hadis
Nabi SAW. Adapun perhatian khulafa al-rasyidin terhadap hadis pada dasarnya adalah:
1)
Para khulafa al-rasyidin dan para
sahabat berpegang bahwa hadis adalah dasar Tasyri’, maka setiap amalan syariat
Islam selalu berpedoman kepada hadis disamping al-Quran yang menjadi dasar
hukum umat Islam.
2)
Para sahabat berusaha mentablighkan segala
hadis yang diterima mereka.
Namun
periwayatan hadis dipermulaan masa sahabat terutama pada masa Abu Bakar dan
Umar, masih terbatas sekali disampaikan kepada yang memerlukan saja, belum
bersifat pelajaran.
Dalam
prakteknya, cara sahabat meriwayatkan hadis ada dua, yakni:
1)
Dengan lafazh asli, yakni menurut lafazh yang
mereka terima dari Nabi SAW yang mereka hafal benar lafazh dari Nabi.
2)
Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan
maknanya bukan dengan lafazhnya karena tidak hafal lafazh yang asli dari Nabi
SAW.
Suasana
masyarakat masa khulafa al-rasyidin terutama pada masa Abu bakar mengalami
pesoalan-pesoalan, diantaranya murtadnya orang sepeninggalan Nabi SAW, maka
para sahabat berhati-hati dalam periwayatan sebuah hadis, dan mengambil langkah
berupa:
1)
Menyedikitkan riwayat, yakni hanya mengeluarkan
hadis dalam batas kadar kebutuhan primer dalam pengajaran dan tuntutan pengamalan agama.
2)
Menapis dalam penerimaan hadis, yakni meneliti
keadaan rawi setiap hadis, apakah cukup adil atau masih meragukan, hadis
mutawatir atau masyhur. Terkadang kalau menerima hadis yang diragukan, para
sahabat meminta saksi dan
keterangan-keterangan yang bisa menyakinkan.
Dalam
masa sahabat ini, perkembangan penelitian hadis menyangkut sanad maupun matan
hadis semakin menampakkan wujudnya, dalam rangka menjaga kemurnian sebuah
hadis, seperti halnya yang telah dilakukan khalifah pertama Abu Bakar yang
diikuti sahabat sesudahnya, yaitu tidak mau menerima suatu hadis yang
disampaikan seseorang, kecuali yang bersangkutan mampu mendatangkan saksi untuk
memastikan kebenaran riwayat yang disampaikanya. Kecuali sahabat Ali r.a
memiliki persyaratan tersendiri dalam menerima suatu hadis, yaitu orang yang
menyampaikan sebuah hadis harus bersedia disumpah atas kebenaran riwayat yang
dibawanya.
Prinsip
dasar penelitian sanad yang terkandung dalam kebijaksaan yang dicontohkan oleh
para sahabat diikuti dan dikembangkan pula oleh para tabiin. Di antara tokoh
tabiin yang terkenal dalam bidang ini adalah Sa’id bin Mussab (15-94 H),
Al-Hasan Al-bashri (21-110 H), Amir bin Syurahbi Asy-sya’bi (17-104 H) dan
Muhammad bin Sirin (w. 110 H).
Dalam
catatan sejarah menurut Ibn Hajar Al-Asqalani, ulama yang pertama kali berhasil
menyusun ilmu hadis dalam suatu disiplin ilmu lengkap adalah Al-Qadi Abu
Muhammad Al-Hasan bin Abd. Ar-Rahman bin Khalad Ar-Ramahurmuzi (265-360 H)
dalam kitabnya, Al-Muhaddits Al-Fashil baina Ar-Rawi wa Al-Wa’i. Kitab ini pada masa itu merupakan kitab yang paling
populer dan terlengkap, yang kemudian dikembangkan dan disempurnakan lagi oleh
para ulama-ulama berikutnya.
Kemudian
muncul ulama-ulama muhadisin lainnya seperti Al-Hakim Abu Abdillah (405 H),
yang mengarang kitab Ma’rifah Ulumil Hadis, yang isinya membagi ilmu hadis menjadi
50 macam. Sesudah itu dilanjutkan oleh Abu Nu’aim Al-Ashbahani (430 H), yang
menambah beberapa pembahasan yang telah dibahas oleh Al-Hakim. Kemudian
Al-Khathieb Al-Baghdad (463 H), beliau mengarang beberapa macam kitab ilmu
hadis, yang dijadikan rujukan oleh ulama-ulama yang datang sesudahnya. Seperti
dalam masalah Qawaninur Riwayat (aturan-aturan periwayatan), beliau menyusun
kitab Al-Kifayah fi Qawaninur Riwayah dan dalam masalah adab-adab riwayat
beliau menyusun kitab Al-Jami’ li Adabibsy Syaikh was Sami’.
Setelah
itu ada Al-Qadli Iyadl (544) yang menyusun kitab Al-Ilma’ yang pembahasannya
diambil dari kitab-kitab Al-Khathieb dan setelah itu bermunculan ulama-ulama
yang menyusun ilmu seperti ini, seperti Al-Hafidh Taqiyuddin Abu Amer Utsman
Ibnush Shalah Ad Dimasyqi (642 H) dalam kitabnya
Muqaddamah Ibnush Shalah atau Ulumul Hadis yang dajarkan kepada murid-muridnya
di perguruan Al-Asyrafiyah di Damaskus. Kitab ini dinadhamkan oleh ulama-ulama
berikutnya seperti Al-Iraqi dalam Alfiyahnya yang kemudian disyarahkan olehnya
sendiri dalam kitab Fathul Mughits dan oleh Al Hafidh As Sakhawy. Ada juga
ulama yang mengikhtisarkan seperti An Nawawy dalam kitabnya Al-Irsyad yang
diringkas dalam kitab At-Taqrib yang selanjutnya disyarahkan oleh Jalal al-Din Abd
al-Rahman ibn Abu Bakar al-Suyuthi (911 H) dalam kitabnya At Tadrib al-Rawi fi
Syarh Taqrib al-Nawawi. Demikian perkembangan ilmu
hadis pada abad ini yang kemudian di sempurnakan kembali oleh ulama-ulama yang
datang belakangan.
2. Masa
Pertengahan (Abad 7 H sampai Abad 14 H)
Ulama
pada abad ini mencoba untuk menyempurnakan atas kitab-kitab yang telah ditulis
oleh ulama-ulama sebelumya seperti kitab Mukhtasar Muqaddimah Ibnush Shalah yang paling baik ialah
Ikhtishar Ulumil Hadis yang ditulis oleh Al-Hafidh Ibnu Katsir Ad Dimasyqi (774
H), yang kemudian disyarahkan oleh Al-Allamah Ahmad Muhammad Syakiz dalam kitab
Al Ba’atsul Hatsits ala Ma’rifati Ulumil Hadis.
Dan dalam
kitab Nukhbatul Fikar fi Mushtalahi Ahli Al-Atsar karya Al-Hafizh Ibnu Hajar
Al-Asqalani (852 H), merupakan kitab kecil yang diringkasan namun termasuk
ringkasan yang paling bagus dan paling baik susunan dan pembagiaanya, serta
telah disyarahkan oleh penyusunnya sendiri dalam kitab Nuzhatu An-Nazhar.
Muhammad
bin Abdirrahman As-Sakhawi (902 H), juga menulis kitab tentang ilmu hadis dalam
sebuah karyanya dalam kitab Fathul Mughits fi Syarhi Alfiyati Al-Hadis yang
merupakan syarah paling lengkap atas kitab Alfiyah Al-Iraqi. Dan kitab
Fathul Baqi ala Alfiyati Al-Iraqi karya Al-Hafizh Zainuddin As-Syaikh Zakaria
bin Muhammad bin Ahmad bin Zakaria Al-Anshari (925 H).
3. Masa
Modern (Abad 14 H samapai Sekarang)
Perkembangan
ilmu hadis abad demi abad terus mengalami perkembangan dan penyempurnaan pada
abad ini yang terus menulis ilmu hadis dari ulama muhadisin adalah Asy-Syaikh
Thahir Al-Jaziry (1338 H) dalam kitabnya Taujihun Nadhar ila Ilmi Usulil Atsar,
salah satu kitab yang mempunya nilai tinggi dalam ilmu hadis dan As-Sayid
Jamaluddin Al-Qasimy (1332 H) dengan kitabnya Qawaidut Tahdits fi Fununil
Hadis, suatu kitab yang banyak faedahnya dan sangat tertib susunannya
Dan di antara
aturan-aturan yang diberlakukan pada masa sahabat adalah:
a.
Mengurangi periwayatan
hadis .
Mereka khawatir dengan
banyaknya riwayat akan tergelincir pada kesalahan dan kelalaian, dan
menyebabkan kebohongan terhadap Rasul SAW. Selain itu mereka juga khawatir
dengan memperbanyak periwayatan akan menyibukkan umat Islam terhadap as-Sunnah
dan mengabaikan Al-Quran
b.
Ketelitian dalam
periwayatan.
Para sahabat sangat
berhati-hati dalam menerima hadis tanpa adanya perawi yang benar-benar dapat
dipercaya, karena mereka sangat takut terjadinya kesalahan dalam periwayatan
hadis Nabi SAW.
c.
Kritik terhadap riwayat.
Adapun bentuk kritik
terhadap riwayat adalah dengan cara memaparkan dan membandingkan riwayat dengan
Al-Qur’an, jika bertentangan maka mereka tinggalkan dan tidak mengamalkannya.
Ketelitian dan sikap
hati-hati para Sahabat Nabi SAW tersebut diikuti pula oleh para ulama yang
datang sesudah mereka, dan sikap tersebut semakin ditingkatkan terutama setelah
munculnya hadis-hadis palsu, yakni sekitar tahun 41 H setelah masa pemerintahan
Khalifah Ali bin Abi Thalib r.a. Semenjak itu mulailah dilakukan penelitian
terhadap sanad Hadis dengan mempraktikkan ilmu al-jarah wa al-ta’dil, dan sekaligus mulai pulalah ilmu ini tumbuh dan
berkembang. Setelah munculnya kegiatan pemalsuan hadis dari pihak-pihak yang
tidak bertanggung jawab, maka beberapa aktivitas tertentu dilakukan oleh para
Ulama Hadis dalam rangka memelihara kemurnian hadis, yaitu seperti: a)
melakukan pembahasan terhadap sanad hadis serta penelitian terhadap keadaan
setiap para perawi hadis, hal yang sebelumnya tidak pernah mereka lakukan; b)
melakukan perjalanan (rihlah) dalam mencari sumber
hadis agar dapat mendengar langsung dari perawi asalnya dan meneliti kebenaran
riwayat tersebut melaluinya; c) melakukan
perbandingan antara riwayat seorang perawi dengan riwayat perawi lain yang
lebih tsiqat dan terpercaya dalam
rangka untuk mengetahui ke-dha’if-an atau kepalsuan suatu
hadis.
Demikianlah kegiatan para
ulama hadis di abad pertama Hijriah yang telah memperlihatkan pertumbuhan dan perkembangan
Ilmu Hadis. Bahkan pada akhir abad pertama itu telah terdapat beberapa
klasifikasi hadis, yaitu: Hadis Marfu’, Hadis Mawquf, Hadis Muttashil, dan Hadis Mursal. Dari macam-macam hadis
tersebut, juga telah dibedakan antara hadis maqbul, yang pada masa berikutnya
disebut dengan hadis shahih dan hadis hasan, serta hadis mardud yang kemudian
dikenal dengan hadis dha’if dengan berbagai macamnya.
Pada abad kedua Hijriah, ketika hadis telah dibukukan secara resmi atas prakarsa
Khalifah Umar bin Abdul Aziz dan dimotori oleh Muhammad ibn Muslim ibn Syihab
al-Zuhri, para ulama yang bertugas dalam menghimpun dan membukukan hadis
tersebut menerapkan ketentuan-ketentuan Ilmu Hadis yang sudah ada dan
berkembang sampai pada masa mereka. Mereka memperhayikan ketentuan-ketentuan
hadis shahih, demikian juga keadaan para perawinya. Hal ini dilakukan lantaran
semakin banyaknya para penghafal hadis yang telah wafat.
Pada abad ketiga Hijriah yang dikenal dengan masa keemasan dalam sejarah
perkembangan Hadis, mulailah ketentuan dan perumusan kaidah-kaidah Hadis
ditulis dan dibukukan, namun masih bersifat parsial. Yahya ibn Ma’in (w.
234H/848M) menulis tentang Tarikh ar-Rijal, Muhammad ibn Sa’ad (w. 230H/844M) menulis Al-Tabaqat, Ahmad ibn Hanbal (241H/855M) menulis Al-‘Ilal, dan lain-lain.
Pada abad keempat dan kelima hijrah mulailah ditulis secara
khusus kitab-kitab yang membahas tentang Ilmu Hadis yang bersifat komprehensif.
Selanjutnya, pada abad setelah itu mulailah bermunculan karya-karya di bidang
Ilmu Hadis ini yang sampai saat ini masih menjadi referensi utama dalam
membicarakan ilmu hadis. Adapun ulama yang pertama kali menyusun kitab dalam
bidang ini adalah al Qadhi Abu Muhammad al Hasan bin Abdurrahman bin Chalad ar Ramaharmuzi
(wafat pada tahun 360 H), kitabnya Al Muhaddits al Fashil Baina al Rawi wa al
Wa’i.
F . CABANG-CABANG ULUMUL
HADITS
Menurut Tengku Muhammad
Hasbi Ash-Shiddieqy, Cabang-cabang besar yang tumbuh dari ilmu Hadis Riwayah
dan Dirayah ialah:
a. Ilmu Rijalul Hadis
Yaitu ilmu yang membahas
para perawi hadis, dari sahabat, dari tabi’in, maupun dari angkatan sesudahnya.
b. Ilmu Jarhi wat Ta’dil
Ilmu yang menerangkan
tentang hal cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang
penta’dilannya (memandang adil para perawi) dengan memakai kata-kata yang
khusus dan tentang martabat kata-kata itu.
c. Ilmu Fannil Mubhammat
c. Ilmu Fannil Mubhammat
Ilmu fannil Mubhamat
adalah ilmu untuk mengetahui nama orang-orang yang tidak disebut dalam matan,
atau di dalam sanad.
d. Ilmu ‘Ilalil Hadis
d. Ilmu ‘Ilalil Hadis
Adalah ilmu yang
menerangkan sebab-sebab yang tersembunyi, tidak nyata, yang dapat merusakkan
hadis.
e. Ilmu Ghoribil Hadis
Yang dimaksudkan dalam
ilmu haddits ini adalah bertujuan menjelaskan suatu hadis yang dalam matannya
terdapat lafadz yang pelik, dan yang sudah dipahami karena jarang dipakai,
sehingga ilmu ini akan membantu dalam memahami hadis tersebut.
f. Ilmu Nasikh wal Mansukh
Adalah ilmu yang
menerangkan hadis-hadis yang sudah dimansukhkan dan menasikhkannya.
Apabila didapati sesuatu
hadis yang maqbul tak ada perlawanan, dinamailah hadis tersebut muhkam. Dan
jika dilawan oleh hadis yang sederajat, tapi mungkin dikumpulkan dengan tidak
sukar maka hadis itu dinamai muhtaliful hadis. Jika tidak mungkin dikumpul dan
diketahui mana yang terkemudian, maka yang terkemudian itu dinamai nasikh dan
yang terdahulu dinamai mansukh.
g. Ilmu Talfiqil hadis
Yaitu ilmu yang membahas
tentang cara mengumpulkan antar hadis yang berlawanan lahirnya
h. Ilmu Tashif wat Tahrif
h. Ilmu Tashif wat Tahrif
Yaitu ilmu yang
menerangkan tentang hadis-hadis yang sudah diubah titiknya (dinamai mushohaf),
dan bentuknya (dinamai muharraf).
i. Ilmu Asbabi Wurudil Hadis
Yaitu ilmu yang
membicarakan tentang sebab-sebab Nabi menuturkan sabda beliau dan waktu beliau
menuturkan itu.
j. Ilmu Mukhtalaf dan Musykil Hadis
Yaitu ilmu yang menggabungkan dan memadukan antara hadis yang zhahirnya
bertentangan atau ilmu yang menerangkan ta’wil hadis yang musykil meskipun
tidak bertentangan dengan hadis lain.
KESIMPULAN
Ulumul Hadis (Ilmu-ilmu Hadis) yang
merupakan salah satu bidang ilmu yang penting di dalam Islam, terutama dalam
mengenal dan memahami hadis-hadis Nabi SAW. Secara umum sejarah pertumbuhan dan
perkembangan ilmu hadis bisa dikelompokkan menjadi menjadi tiga periodisasi,
mulai awal lahirnya ilmu hadis sampai pada masa kekinian yaitu meliputi: 1)
masa klasik, 2) masa pertengahan dan 3) masa modern.
CABANG-CABANG ULUMUL HADITS
CABANG-CABANG ULUMUL HADITS
a. Ilmu Rijalul Hadis
b. Ilmu Jarhi wat Ta’dil
c. Ilmu Fannil Mubhammat
d. Ilmu ‘Ilalil Hadis
e. Ilmu Ghoribil Hadis
f. Ilmu Nasikh wal Mansukh
g. Ilmu Talfiqil hadis
h. Ilmu Tashif wat Tahrif
i. Ilmu Asbabi Wurudil Hadis
j. Ilmu Mukhtalaf dan Musykil Hadis
SARAN
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang
menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan
kelemahannya, karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau
referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis banyak berharap
para pembaca yang budiman sudi memberikan kritik dan saran yang membangun
kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah di
kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada
khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya
[1] Syaikh Muhammad Bin Shalih Al Utsman, MUSHTHALAH AL
HADITS, Yogyakarta, halaman 15
[2] Syaikh Manna Al-Qaththan, PENGANTAR
STUDI ILMU HADITS, 2005, Jakarta, halaman 22
[3] ikkaw.blogspot.co.id/2014/03/ulumul-hadits-pengertian.html
[4] http://saifuddinasm.com/2012/09/29/metode-kajian-hadits/
[5]
http://abufaiq798.blogspot.co.id/2013/02/pendekatan-studi-ilmu-hadits-oleh-erwin.html
[6]
http://dakwahsyariah.blogspot.co.id/2014/01/ilmu-hadits-dan-faedah-mempelajarinya.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar