File full bahan makalahnya : Download
Artinya: ia (al-qur’an ) dibawa turun oleh Ar-Ruhul Al-Amin (Jibril) kedalam hatimu (Muhammad)agar kamu menjadi salah seorang diantara orang-orang yang memberi peringatan.” (Q.S. asy-syu’ara: 193-194).
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN NUZULUL QUR’AN
[1]Pengertian nuzulul quran menurut bahasa kata
nuzulul quran merupakan gabungan dari dua kata, yang dalam bahasa arab susunan
semacam ini disebut dengan istilah tarkib idhofi dan dalam bahasa indonesia
biasa diartikan dengan turunnya al-quran.
Pengertian
nuzulul quran menurut istilah nuzulul quran ini ada beberapa arti dari berbagai
pendapat para ulama’, antara lain sebagai berikut:
Jumhur ulama’ : antara lain Ar-Rozi, Imam
As-Suyuthi, Az-Zarkasyi, dll. Mengatakan arti nuzulul quran itu secara hakiki
tidak cocok sebagai al-quran sebagai kalam allah yang berada pada dzat-nya,
sebab dengan memakai ungkapan “diturunkan” menghendaki adanya materi kalimat
atau lafal atau tulisan huruf yang ril yang harus diturunkan. Karena itu arti
kalimat nuzulul quran itu harus dipakai makna majazi yaitu menetapkan atau
memberitahukan atau menyampaikan al-quran, baik disampaikannya al-quran ke lauh
mahfudh atau ke baitul izzah di langit dunia maupun kepada nabi muhammad SAW
sendiri.
Sebagian
ulama’ antara lain Imam ibnu taimiyah dkk. Mengatakan pengertian nuzulul quran
itu juga tidak perlu dialihkan dari arti hakiki kepada arti majazi. Maka
kata nuzulul quran itu berarti “turunnya al-quran”. Sebab arti tersebut sudah
biasa digunakan dalam bahasa arab2. Menurut Muhammad abdul
Al-Zurqoni, dalam kitab Manahil Al-Irfan Fi ululul Quran yaitu: karena
ketiggian kedudukan al-quran dan besarnya ajaran-ajarannya. Yang dapat mengubah
perjalanan hidup manusia mendatang serta menyambung langit dan bumi, serta
dunia dengan akhirat3. Ia berkata, sebagai kata, memang kata nuzul
berarti pindahnya suatu dari atas ke bawah. Terkandung dalam makna nuzul
tersebut bergeraknya sesuatu dari atas ke bawah. Namun pengertian nuzul
tersebut tidak patut diberikan untuk maksud nuzulul quran. Al-quran bukanlah
suatu benda yang memerlukan tempat pindah dari atas ke bawah dalam arti hakiki,
lantaran al-quran mengandung kei’jazan (kekuatan yang melemahkan).
Menurut
Az-Zarqani, penggunaan kata nuzul dalam hal nuzulul quran dimaksudkan dalam
pengertian secara majazi. Artinya sebagai suatu ungkapan yang tidak dipahami
secara harfiah. Pengertian majazi bagi nuzulul quran adalah pemberi tahuan
mengenai al-quran dalam segala aspeknya.
B.
SEJARAH NUZULUL QUR’AN
Seperti yang kita ketahui, bahwa
Allah SWT menurunkan Al-qur’an kepada Rasul-Nya Muhammad SAW, melaui “Amin
al-Wahyi” ( Jibril a.s). Sementara itu, para ‘ulama berbeda pendapat mengenai
tahapan-tahapan turunnya wahyu tersebut sebelum disampaikan kepada Rasul
pilihan-Nya. Pendapat-pendapt yang dimaksud ialah:
Pendapat pertama mengatakan, bahwa Al-qur’an itu diturunkan melalui tiga tahap [2]:
Tahap pertama, Al-qur’an diturunkan oleh Allah ke Lauh-Almahfudz secara
sekaligus, dalam arti bahwa Allah menetapkan keberadaannya disana, sebgaimana
halnya dia menetapkan adanya segala sesuatu dengan kehendaknya, tetapi kapan
saatnya serta bagaimana caranya tidak seorangpun mengetahuinya kecuali Allah,
sesuai dengan firman-Nya.
Q.S Al Buruj : 21-22.
بل هو قرأن مجيد . في لوح محفوظ.
Artinya: bahkan
yang di dustakan itu ialah Al-Qur’an yang mulia, yang tersimpan di Lauhul
Mahfudz ( QS. Al-Buruj 21).
Tahap kedua, Al-qur’an diturunkan dari Lauh al-Mahfudz ke Bait al-‘Izzah yang
berada di langit dunia. Hal ini berdasarkan firman Allah sebagai berikut :
Q.S Ad-Dukhan : 3
إِِِِنَّا
أَنْزَلْناَهُ فِى لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ
Artinya: sesungguhanya kami
menurunkannya (al-qur’an )pada suatu malam yang diberkahi. (QS. Ad-dukhan: 3)
Ketiga malam yang disebutkan dalam
ayat-ayat diatas adalah satu makna yang berada di bulan Ramadhan, diturunkannya
dari Lauh al-Mahfudz ke Bait al-‘Izzah (langit dunia) secara sekaligus.
Tahap ketiga, Al-qur’an diturunkan dari Bait al-‘Izzah (langit dunia) dengan
perantaraan Jibril a.s kepada Rasulullah SAW. Untuk pertama kalinya pada
tanggal 17 Ramadhan., dan berlanjut secara berangsur-angsur selama kurang lebih
23 tahun. Pendapat tersebut di anut oleh Jumhur ‘Ulama.
Mereka mengatakan, bahwa yang
dimaksud dengan turunnya pada ketiga ayat diatas adalah turunnya secara
keseluruhan sekaligus, bukan berangsur-angsur. Sebab ayat-ayat tersebut bukan
berbicara tentang permulaan turunnya al-qur’an. Oleh karena itu, Jumhur ‘Ulama
sepakat untuk mengambil makna lahirnya ayat, tanpa mena’wilkannya.
Dalilnya
ayat Al-Qur’an antara lain:
ولقد أنزلناه إليك ايت بينت
Artinya: dan
sesungguhnya kami telah menurunkan kepadamu ayat-ayat yang jelas.” (Q.S.
al-baqoroh:99)
نزل به الروح الامين . على قلبك لتكون من
المنذربن
Artinya: ia (al-qur’an ) dibawa turun oleh Ar-Ruhul Al-Amin (Jibril) kedalam hatimu (Muhammad)agar kamu menjadi salah seorang diantara orang-orang yang memberi peringatan.” (Q.S. asy-syu’ara: 193-194).
Pendapat kedua mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan turunnya al-qur’an dalam
ketiga ayat diatas adalah, permulaan turunnya Al-qur’an dalam ketiga ayat
diatas adalah, permulaan turunnya Al-qur’an langsung dari Allah melalui
malaikat Jibril kepada Rasulullah SAW pada malam Qadar (di bulan Ramadhan),
kemudian berlanjut secara berangsur-angsur sesuai dengan kejadian dan peristiwa
dalam berbagai masa dan waktu, selama kurang lebih dua puluh tiga tahun. Dengan
demikian menurut pendapat ini al-qur’an tidak diturunkan secara sekaligus ke
Lauh al-Mahfudz dank e langit dunia (Bait Al-‘Izzah) sebelum disampaikan oleh
Jibril kepada Rasulullah SAW.
Pendapat ketiga mengatakan bahwa al-Qur’an diturunkan ke langit dunia (Bait al-‘Izzah)
selama dua puluh atau dua puluh tiga atau dua puluh lima kali malam Qadar. Pada
setiap malam Qadar (dari malam-malam Qadar itu) telah ditentukan ukuran
turunnya untuk setiap tahun. Setelah itu, baru diturunkan kepada Nabi SAW
secara berangsung-angsur sepanjang tahun yang telah ditentukan tadi sesuai
tuntutan kebutuhan. Pendapat ini adalah hasil ijtihad dari sebgai mufasir,
namun tidak disertai dengan argument.
Pendapat keempat mengatakan, bahwa al-Qur’an diturunkan dari Lauh Mahfudz secara
sekaligus, kemudian Jibril a.s menghafalkan secara berangsur-angsur selama dua
puluh malam. Setelah itu, Jibril menyampaikan (menurunkannya) kepada Rasulullah
SAW dengan cara berangsur-angsur selama kurang lebih dua puluh tahun.
Tiga pendapat yang terakhir ini,
menurut al-Zarqaniy dianggap lebih lemah dibandingkan dengan pendapat yang
pertama. Sebab pendapat yang pertama diatas didukung dan dilandasi dengan
argument-argumen yang cukup kuat.
C.
HIKMAH DITURUNKAN AL-QUR’AN SECARA GRADUAL ( BERANGSUR-ANGSUR)
[3]Al-Qur'an tidak
saja diturunkan sekaligus (jumlah wahidah) seeperti kitab-kitab samawi
sebelumnya. Namun, ia juga diturunkan secara berangsur-angsur (munajjaman).
Di antara dalil penurunan Al-Qur'an kepada Nabi Saw. secara berangsur-angsur
dapat dilihat pada dua ayat berikut :
وَقُرْءَانًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ
وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلًا * – الإسراء
Dan Al-Qur'an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur
agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dari kami menurunkannya
bagian demi bagian. (QS Al-Isra' [17]:106)
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلَا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْءَانُ
جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ
تَرْتِيلًا * – الفرقان
Berkatalah
orang-orang yang kafir: 'Mengapa Al-Qur'an itu tidak diturunkan kepadanya
sekali turun saja?':Demikianlah supaya kami perkuat hatimu dengannya
dan Kami membacanya secara tartil (teratur dan benar), (QS Al- Furqan
[25]: 32)
Inilah dua ayat
yang menjadi dasar penurunan Al-Qur'an secara bertahap kepada Nabi Saw. Tentu
di balik penurunarmya secara berangsur-angsur itu terdapat hikmah dan
manfaatnya.
[4]Menurut para
ulama, di antara hikmah diturunkannya Al-Qur'an secara berangsur- angsur
adalah;
1.
Meneguhkan
hati Rasulullah dan para sahabat.
Dakwah Rasulullah pada era makkiyah penuh dengan tribulasi berupa
celaan, cemoohan, siksaan, bahkan upaya pembunuhan. Wahyu yang turun secara
bertahap dari waktu ke waktu menguatkan hati Rasulullah dalam menapaki jalan
yang sulit dan terjal itu.
Ketika kekejaman Quraisy semakin menjadi, Al-Qur’an menyuruh mereka
bersabar seraya menceritakan kisah para nabi sebelumnya yang pada akhirnya
memperoleh kemenangan dakwah. Maka, seperti yang dijelaskan Syaikh
Syafiyurrahman Al-Mubarakfury dalam Rakhiqul Makhtum, Al-Qur’an menjadi faktor
peneguh mengapa kaum muslimin sangat kuat menghadapi cobaan dan tribulasi
dakwah dalam periode Makkiyah. Di era madaniyah, hikmah ini juga terus
berlangsung. Ketika hendak menghadapi perang atau kesulitan, Al-Qur’an turun
menguatkan Rasulullah dan kaum muslimin generasi pertama.
2.
Tantangan
dan Mukjizat
Orang-orang
musyrik yang berada dalam kesesatan tidak henti-hentinya berupaya melemahkan
kaum muslimin. Mereka sering mengajukan pertanyaan yang aneh-aneh dengan maksud
melemahkan kaum muslimin.
Pada
saat itulah, kaum muslimin ditolong Allah dengan jawaban langsung dari-Nya
melalui wahyu yang turun. Selain itu, Al-Qur’an juga menantang langsung
orang-orang kafir untuk membuat sesuatu yang semisal dengan Al-Qur’an. Walaupun
Al-Quran turun berangsur-angsur, tidak seluruhnya, toh mereka tidak mampu
menjawab tantangan itu. Ini sekaligus menjadi bukti mukjizat Al-Qur’an yang tak
tertandingi oleh siapapun.
3.
Memudahkan Hafalan dan pemahamannya
Dengan turunnya Al-Qur’an secara berangsur-angsur, maka para kaum
muslimin menjadi lebih mudah menghafalkan dan memahaminya. Terlebih, ketika
ayat itu turun dengan latar belakang peristiwa tertentu atau yang diistilahkan
dengan asbabun nuzul, maka semakin kuatlah pemahaman para sahabat.
4.
Relevan dengan Pentahapan Hukum dan
Aplikasinya
Sayyid Quthb menyebut para sahabat dengan “Jailul Qur’anil farid”
(generasi qur’ani yang unik). Diantara hal yang membedakan mereka dari generasi
lainnya adalah sikap mereka terhadap Al-Qur’an. Begitu ayat turun dan
memerintahkan sesuatu, mereka langsung mengerjakannya.
Interaksi mereka dengan Al-Qur’an bagaikan para prajurit yang
mendengar intruksi komandannya, langsung dikerjakan segera. Diantara hal
yang memudahkan bersegeranya para sahabat dalam menjalankan perintah Al-Qur’an
adalah karena Al-Qur’an turun secara bertahap.
Perubahan terhadap kebiasaan atau budaya yang mengakar di
masyarakat Arab pun dilakukan melalui pentahapan hukum yang memungkinkan
dilakukan karena turunnya Al-Qur’an secara berangsur-angsur ini. Misalnya
khamr, Ia tidak langsung diharamkan secara mutlak, tetapi melalui pentahapan.
Pertama, Al-Qur’an menyebut mudharatnya lebih besar dari manfaatnya (QS. 2 :
219). Kedua, Al-Qur’an melarang orang yang mabuk karena khamr dari shalat (QS.
4 : 43). Dan yang ketiga baru diharamkan secara tegas (QS. 5 : 90-91).
5.
Menguatkan
bahwa Al-Qur’an benar-benar dari Allah SWT
Ketika Al-Qur’an turun berangsur-angsur dalam kurun lebih dari 22
tahun, kemudian menjadi rangkaian yang sangat cermat dan penuh makna, indah dan
fasih gaya bahasanya, terjalin antara satu ayat dengan ayat lainnya bagaikan
untaian mutiara, serta ketiadaan pertentangan di dalamnya, semakin menguatkan
bahwa Al-Qur’an benar-benar kalam ilahi, Dzat yang Maha Bijaksana lagi Maha
Terpuji.
Demikianlah, sebagian hikmah Nuzulul Qur’an, diturunkannya
Al-Qur’an secara berangsur-angsur kepada Rasulullah SAW. Wallahu a’lam bish
shawab. [Muchlisin. Maraji: : مابحث في علوم القران karya
Syaikh Manna Al-Qaththan, رحيق المختوم karya
Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfury, dan معالم في الطريق
karya Sayyid Quthb]
D.
AL-QUR’AN PADA MASA NABI MUHAMMAD SAW
Pada masa Nabi Muhammad SAW ada dua jalur yang ditempuh beliau
berkaitan dengan Al-qur’an, yaitu pemeliharaan Al-Qur’an di dada melalui
hafalan dan pmeliharaan Al-Qur’an di atas Material melalui tulisan.
1. Pemeliharaan Al-Qur’an melalui hafalan
Rasulullah SAW ialah Hafidz (penghafal) al-Qur’an pertama dan
sekaligus contoh terbaik bagi para sahabat khususnya ketika itu dan bagi kaum
muslimin umumnya sampai hari kiamat. Rasulullah juga diberi gelar sebagai ‘Sayyid
al-Huffazh dan Awwal al-Jumma’, sehingga beliau menjadi muara dan tempat
kembalinya para sahabat dan kaum muslimin secara keseluruhan dalam mengkaji dan
mempelajari Al-Qur’an[5].
Pada masa Rasulullah, para sahabat r.a berlomba-lomba membaca,
menghafal, dan mempelajari Al-qur’an, selanjutnya mereka menyampaikan dan
mengajarkan apa yang diterimanya dari Nabi Muhammad kepada istri dan anak-anak
mereka dirumah masing-masing. Seiring dengan semakin banyaknya para sahabat
yang menghafal dan memahami Al-qur’an, Rasulullah SAW mengutus sebagaian dari
mereka ke berbagai daerah, untuk membacakan dan mengajarkan Al-qur’an kepada
penduduk yang berada di berbagai daerah.
Adapun faktor-faktor yang tampaknya dapat dijadikan sebagai acuan
dan sekaligus sebagai pendorong kaum muslimin untuk menghafal Al-Qur’an antara
lain adalah :
a.
Al-qur’an
al-kariim berisi turan hidup ( dustur al hayat) yang harus dijalankan.
b.
Al-qur’an
adalah merupakan tanda keagungan Allah yang memiliki keindahan balaghah dan
sekaligus mengandung I’jaz, yang menyebabkan orang-orang Arab bertekuk lutut,
karena susunan bahasanya melampaui tingkat kemampuan yang dimiliki mereka.
c.
Para
Huffazh mempunyai kedudukan terhormat dikalangan kaum muslimin umumnya serta
dihadapan Allah dan Rasul-Nya khususnya. Kondisi yang demikian, merangsang
mereka untuk berlomba menghafal al-Qur’an. Kedudukan penghafal Al-Qur’an yang
sedemikian tinggi itu disabdakan oleh Rasulullah SAW. Sebagai berikut :
“Sesungguhnya Allah mengangkat derajat kaum/kelompok dengan
kitab ini (Al-Qur’an) dan merendahkan/menghinakan yang dengannya.”(Shahih
Muslim)[6].
2.
Pemeliharaan
Al-Qur’an Melalui Tulisan
Menurut riwayat, alat-alat yang digunakan sebagai sarana untuk
memelihara al-qur’an, guna mengabadikan kemurnian al-qur’an, antara lain
melalui.
a.
‘Usub,
yaitu; pelepah kurma yang sudah dipisahkan dari batang-batang daunnya.
Penulisannya dilakukan pada bagian –bagiannya yang datar atau rata. Selain itu
juga dilakukan di al-karanif {kulit pohon kurma}.
b.
Al-likhaf,yaitu;
lempengan-lempengan batu halus yang memungkinkan untuk dipindah-pindahkan.
c.
Al-al-riqa’,
yaitu; daun-daun atau kulit-kulit pohon tertentu.
d.
Al-aktaf,
yaitu; tulang-tulang unta atau domba yang dapat ditulisi setelah dikeringkan.
e.
Al-aqtab,
yaitu; papan yang bias diletakkan di aas punggung unta digunakan untuk menahan
barang-barang bawaan.
f.
Qitha’
al-adim, yaitu; potongan-potongan kulit unta atau kulit kambing.
Untuk
tugas penulisan ayat-ayat al-Qur’an, Rasulullah s.a.w. mengangkat beberapa
orang juru tulis yang amat terpercaya, teliti dan sangat hati-hati dalam urusan
itu. Yang paling tersohor di antara mereka ialah Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali
bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Mu,adz bin Jabal, Mu’awiyah
bin Abi Sufyan dan lain-lain.
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
Sesungguhnya kamilah yang menurunkan
al-Qur’an dan sesungguhnya kamilah yang akan benar-benar memelihara-nya. Q.S
[5];9.Al hijr:9[7].
E.
AL-QUR’AN PADA MASA KHULAFAUR RASYIDIN
1.
Al-qur’an pada Masa Khalifah Abubakar ash-Shiddiq
Pada masa Khalifah Abubakar,terjadi pertempuran sengit di Yamamah,
yang terkenal dalam sejarah yang bernama perang Yamamah. Dalam tragedi yang
berlangsung tahun ke 12 Hijriyah ini cukup banyak memakan korban di pihak kaum
muslimin, termasuk sejumlah 70 orang sahabat yang hafal Al-Qur’an gugur sebagai
Syuhada’. Menurut sejarah, peristiwa Yamamah inilah yang melatarbelakangi
timbulnya kecemasan Sayyidina ‘Umar bin Khattab kemudian mendorong dan mengusulkan kepada
Khalifah Abu Bakar agar secepatnya mengusahakan penghimpunan ayat-ayat
Al-Qur’an menjadi satu mushaf, karena dikhawatirkan akan lenyapnya sebagian
dari Al-qur’an disebabkan oleh gugurnya sebagian dari penghafalnya.Pada mulanya
khalifah Abu Bakar merasa ragu-ragu menerima usul Sayyidina Umar itu, tetapi
setelah melakukan diskusi yang mendalam dan pertimbangan yang cermat serta
memperhatikan segi-segi maslahatnya, akhirnya Khalifah menerima usul dan saran
dari Sayyidina Umar. Dan setelah itu, Khalifah Abu bakar ketika itu memanggil
dan memerintahkan kepada Zaid bin Tsabith agar segera menghimpun ayat-ayat
Al-Qur’an yang masih berserakan yang ditulisnya pada masa Rasulullah itu
menjadi suatu ‘Mushaf’[8].
2.
Al-Qur’an pada masa Khalifah Umar bin Khattab
Setelah khalifa Abu Bakar wafat, maka digantikan oleh khalifatul
mukminin yaitu Umar bin Khatab. Demikian juga halnya mushaf, yang dahulunya
disimpan oleh Abu Bakar maka setelah Umar menjadi khalifah mushaf tersebut
berpindah tangan ke Umar bin Khattab Pada masa khalifah Umar ini tidak
membicarakan Al-qur’an melainkan lebih memfokuskan pada pengembangan ajaran
islm dan wilayah kekuasaan Islam, serta mengendepankan ajaran Islam. Pada masa
Khalifah Umar bin Khattab terjadi penyebaran Al-Quran ke wilayah yang sudah
memeluk agama islam. Penyebaran ini bukan sekedar mengirimkan lembaran
mushaf-mushaf, tetapi disertai pula dengan pengajarannya. Khalifah Umar
mengirimkan sekitar 10 sahabat ke basrah untuk mengajarkan Al-Quran Umar juga
mengirim Mas’ud ke Kufah dengan tujuan sama. Umar sangat menekankan pentingnya
mengajarkan al-quran dengan suhuf yang dibuat sebelumnya.
Sayyidina Umar juga mengirimkan 3 utusan ke Palestina, mereka
adalah Mu’adz, Ubadah dan Abu Darda. Setelah berdakwah dan mengajarkan al-quran
di Homs, salah satu dari mereka diutus melanjutkan perjalanan menuju Damaskus
dan tempat lain di Palestina. Umar juga mengirimkan beberapa utusan ke negara
dan wilayah-wilayah lain untuk mengajarkan al-Quran. Ketika umar wafat,
kekhalifahan dipegang oleh Utsman bin Affan dan untuk sementara waktu hmpunan
al-quran tersebut dirawat Hafshah binti Umar. Hal ini dikarenakan 2 alasan.
Pertama, Hafshah adalah seorang penghafal al-quran. Dan kedua dia adalah istri
Rasul sekaligus putri Umar[9].
3.
Al-qur’an pada zaman Sayyida Utsman bin ‘Affan
a.
Pengumpulan
Al-Qur’an di Masa Utsman bin Affan
Pada masa khalifah Utsman bin ‘Affan, pada periode ini timbul
kecenderungan baru untuk mempelajari Al-Qur’an, termasuk mempelajari cara
pengucapan dan membacanya. Penduduk-penduduk daerah Islam pada waktu itu
masing-masing menggunakan cara bacaan sesuai dengan yang diterima dari
masing-masing guru mereka, yang dianggapnya paling baik dan benar.
Peristiwa ini membuat Khalifah ‘Usman bin ‘Affan kemudian
mengirimkan sepucuk surat yang berisi permintaan agar Hafshah mengirimkan
mushhaf yang disimpannya kepada Khalifah ‘Usman bin ‘Affan, untuk direproduksi
dan digaandakan menjadi beberapa naskah, dengan jaminan, setelah selesai
dipedomani mushhaf tersebut dikembalikan lagi kepada Hafshah[10].
b.
Munculnya Ide
Pengumpulan Al-Qur’an
Latar belakang
pengumpulan al-Qur'an di masa Utsman r.a. adalah karena beberapa faktor lain
yang berbeda dengan faktor yang ada pada masa Abu Bakar. Daerah kekuasaan Islam
pada masa Utsman telah meluas, orang-orang Islam telah terpencar di berbagai
daerah dan kota. Di setiap daerah telah populer bacaan sahabat yang mengajar
mereka.
Diriwayatkan
dari Abi Qilabah bahwasanya ia berkata: “Pada masa pemerintahan Utsman
guru-pengajar menyampaikan kepada anak didiknya, guru yang lain juga
menyampaikan kepada anak didiknya. Dua kelompok murid tersebut bertemu dan
bacaannya berbeda, akhirnya masalah tersebut sampai kepada guru/pengajar
sehingga satu sama lain saling mengkufurkan. Berita tersebut sampai kepada
Utsman. Utsman berpidato dan seraya mengatakan: “Kalian yang ada di hadapanku
berbeda pendapat, apalagi orang-orang yang bertempat tinggal jauh dariku pasti
lebih-lebih lagi perbedaannya”.
Ia mengumpulkan
sahabat-sahabat yang terkemuka dan cerdik cendekiawan untuk bermusyawarah dalam
menanggulangi fitnah (perpecahan) dan perselisihan.
Sebagai
khalifah yang ketiga Utsman tidak lagi menginginkan adanya variasi tersebut dan
memerintahkan dituliskannya sebuah versi tunggal dalam bentuk bahasa Quraisy,
dan Utsman menyerahkan tugas baru ini kepada Zaid bin Tsabit untuk memimpin
pembakuan al-Qur’an dalam satu bahasa agar keragaman dialek tidak menjadi sebab
disharmonisnya dalam komunitas muslim.
Mereka semua
sependapat agar Amirul Mu'minin menyalin dan memperbanyak mushhaf kemudian
mengirimkannya ke segenap daerah dan kota dan selanjutnya menginstruksikan agar
orang-orang membakar mushhaf yang lainnya sehingga tidak ada lagi jalan yang
membawa kepada pertikaian dan perselisihan dalam hal bacaan al-Qur'an[11].
c.
Pembentukan
Panitia Pengumpulan Al-Qur’an
Sahabat Utsman
melaksanakan keputusan yang sungguh bijaksana tadi, ia menugaskan kepada empat
orang sahabat pilihan, lagi pula hafalannya dapat diandalkan. Mereka tersebut
adalab Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said Ibnu al-'Asb dan Abdurrahman
Ibnu Hisyam. Mereka semua dari suku Quraisy golongan muhajirin kecuali Zaid
Ibnu Tsabit, dimana ia adalah dari kaum Anshar. Adapun Pelaksanaan gagasan yang
mulia ini adalah pada tahun kedua puluh empat hijrah.
Maka dari
mushhaf yang ditulis di zaman Utsman itulah kaum muslimin di seluruh pelosok
menyalin al-Qur’an itu. Adapun kelainan bacaan, sampai sekarang masih ada
karena bacaan-bacaan yang dirawikan dengan mutawatir dari Nabi terus dipakai
oleh kaum muslimin dan bacaan-bacaan tersebut tidaklah berlawanan dengan apa
yang ditulis dalam mushhaf-mushhaf yang ditulis di masa Utsman itu.
Mushhaf Abu
Bakar setelah dipinjam dan disalin, Utsman mengembalikannya kepada Hafshah.
Mushhaf itu tetap berada ditangannya hingga ia wafat. Dalam buku Mabahits fi
‘Ulum Al-Qur’an, Dr. Shubhiy Shalih yang mengutip keterangannya dari Kitab Al-Mashhahif karya Ibnu Abi Daud, menurunkan riwayat
sebagai berikut: ”Marwan telah berusaha mengambilnya (mushhaf) dari tangannya
(Hafshah) untuk kemudian membakarnya. Tetapi ia (Hafshah) tidak mau
menyerahkannya sampai ketika ia wafat, Marwan mengambil mushhaf tersebut dan
membakarnya”.
Bila dianalisis
baik keengganan Hafshah menyerahkan mushhaf maupun Marwan yang bersikeras
meminta mushhaf yang ada pada mushhaf, maka hal itu dapat dimengerti. Hafshah
enggan menyerahkan Mushhaf Abu Bakar yang ia terima dari ayahnya yaitu Umar,
karena ia tahu mushhaf itulah yang disalin oleh Utsman untuk disebarluaskan ke
beberapa daerah. Sementara Marwan berkeinginan agar masyarakat hanya mengenal
satu mushhaf. Dan Marwan tahu bahwa penulisan Mushhaf Utsman atau Mushhaf
Utsmaniy dilakukan dengan menggunakan kaidah-kaidah tertentu tetapi memperhatikan
qira’at-qira’at yang dibenarkan Rasulullah[12].
Kaum muslimin
sepakat bahwa seluruh mushhaf yang dibagikan Utsman ke berbagai penjuru negeri,
berapapun jumlahnya adalah mushhaf yang sama dan mencakup semua isi al-Qur’an,
yang diterima dari Nabi Muhammad. Musshaf tersebut berisi 114 surat, naskah
tersebut tidak memiliki titik dan syakal (harokat), dan tidak pula memiliki
tanda-tanda lain yang kita kenal dimasa ini. Bahkan menurut pendapat yang
populer, ia tidak pula memiliki nama-nama surat dan bagian-bagian yang
memisahkannya satu sama lain.
Kendati nasib
semua mushhaf tersebut tidak diketahui secara pasti, namun Ibn Katsir pernah
melihat mushhaf Utsmaniy yang ada di Syam. Ibn Katsir mengatakan sebagai
berikut : adapun mushhaf Utsmaniyah yang diakui sebagai Mushhaf Imam maka yang
termasyhur sekarang ini adalah yang terdapat di Syam dan tersimpan di Masjid
Jami’ Damaskus. Dulu mushhaf tersebut disimpan di kota Thibriyyah, kemudian
dipindahkan ke Damaskus pada akhir tahun 518 H. sungguh saya telah menyaksikan
sendiri kitab agung dan mulia dengan tulisan tangan yang indah, jelas dan kuat,
yang menggunakan tinta yang tahan luntur, dan ditulis di atas lembaran-lembaran
yang saya duga adalah kulit unta.
Perlu diketahui
bahwa sebelum masa Utsman, telah terjadi perselisihan mengenai bacaan
al-Qur’an, baik di daerah-daerah maupun di Madinah, setiap guru mempunyai
bacaan tersendiri sehinggah anak-anak yang menerima pelajaran pun menjadi
berselisih. Perselisihan ini berlanjut hingga masa Utsman kemudian
disampaikanlah kasus itu oleh Hudzayfah kepada Utsman. Karena itulah ia sangat
khawatir, kemudian menyampaikan amanatnya didepan jamaah sebagai berikut: “Kamu
sekalian yang dekat dengan sayapun berselisih mengenai bacaan al-Qur’an dan
salah bacaan, apalagi orang-orang yang berada di daerah-daerah. Saya yakin,
mereka lebih hebat perselisihannya dan lebih besar kesalahannya dalam membaca
al-Qur’an. Untuk itulah wahai sahabat-sahabat Muhammad tulislah sebuah Imam
untuk manusia”[13].
Karena itulah
mushhaf Utsman dinamakan Al-Imam, Utsman telah mengirimkan naskah mushhaf ini
ke beberapa daerah dan memerintahkan agar membakar semua mushhaf selain mushhaf
Utsman. Ibn Fadhli al ‘Umariy dalam kitabnya Masaliku I’Abrar ketika
menerangkan sifat masjid Damaskus, berkata: ”Disebelah kirinya terdapat mushhaf
Utsmaniy yang ditulis Amirul Mu’minin. Mushhaf Utsmaniy ini berada di masjid
Damaskus pada masa al ‘Umary hingga abad 8 H. Para peneliti peninggalan bangsa
Arab menegaskan, mushhaf inilah yang dipelihara di perpustakaan Leningrad,
kemudian dipindahkan ke Inggris dan tetap disana hingga sekarang.
Pembakuan teks
al-Qur’an pada masa Utsman dapat diberi penanggalan pada suatu saat antara 650
hingga wafatnya Utsman pada 656. Masa ini merupakan titik utama dalam apa yang
biasanya disebut sebagai pembentukan naskah resmi al-Qur’an. Bagaimanapun
bentuk al-Qur’an sebelumnya, sudah jelas bahwa kitab yang di tangan kita
sekarang merupakan al-Qur’an Utsmaniy. Organisasi yang di bentuk Utsman
menentukan apa-apa yang mesti dimasukkan dan apa yang mesti dikeluarkan,
organisasi mengatur nomor dan susunan surat, serta kerangka konsonantal (bentuk
teks ketika titik-titik huruf tertentu dihilangkan). Jika kita berpendapat
bahwa pemeliharaan setiap bagian terkecil dari wahyu (asli) merupakan suatu
syarat mutlak, maka Zaid harus dikukuhkan karena telah menghasilkan suatu karya
yang sangat mengagumkan.
Periode Khulafaur-Rasyidin diakhiri dengan
sebuah tragedi. Keluarga Utsman mempertahankan kekuasannya atas masyarakat
melalui suatu keturunan Utsman yang bernama Muawiyah, sementara Ali sebagai menantu Nabi dan sahabat Nabi
terkemuka, juga menginginkan posisi
sebagai khalifah. Persaingan dalam merebut kekuasaan tersebut akhirnya
mengakibatkan peperangan antara kedua belah pihak dan Muawiyah berhasil merebut
kekuasaan tersebut, meskipun dia tidak pernah mengalahkan Ali secara total.
Akan tetapi secara politik, masyaarakat mengalami perpecahan, dan lahirlah dua
kelompok Islam[14].
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Al-Quran
diturunkan dalam tempo 22 tahun 2 bulan 22 hari, yaitu mulai malam17 ramadhan
tahun 41 dari kelahiran nabi, sampai 9 Dzulhijjah Haji Wada’ tahun 63 dari
kelahiran nabi atau 10 H. Proses turunnya al-quran kepada nabi Muhammad SAW.
Adalah melalui tiga tahapan, yaitu:
Pertama, al-quran turun secara
sekaligus dari allah ke lauh al-mahfuzh.
Kedua,
al-quran diturunkan dari lauh al-mahfuzh
ke bait al-izzah (tempat yang ada di
langit dunia). Tahap ketiga, al-quran diturunkan dari bait al-izzah ke dalam hati nabi dengan jalan berangsur-angsur
sesuai dengan kebutuhan.
hikmah
diturunkannya al-quran secara berangsur-angsur, antara lain sebagai berikut:
1.
Memantapkan hati nabi.
2.
Menentang dan melemahkan para penentang al-quran merupakan salah satu mukjizat Al-quran.
3.
Memudahkan untuk dihapal dan dipahami
4.
Mengikuti setiap kejadian dan melakukan penahapan dalam penetapan syari’at.
Membuktikan
dengan pasti bahwa al-quran turun dari Allah yang maha bijaksana.
DAFTAR
PUSTAKA
Anshori. 2009. Ulumul Qur’an. Jakarta; PT Raja Grafindo Persada
Usman. 2009. Ulumul Qur’an.
Yogyakarta; Penerbit Teras
http://
www.tongkronganislami.net/2015/12/tahapan-sejarah-nuzulul-quran-dan.html
http://alquranexplorer.blogspot.co.id/2014/08/pengumpulan-alquran-pada-masa-umar.html
http://tonybestthinker.blogspot.co.id/2015/01/al-quran-pada-masa-utsman-bin-affan-dan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar